Jumat, 19 Desember 2014

Berbicara dengan Bayangan dan Tuhan

Saat menikmati senja di penghujung hari, tiba-tiba saya teringat ayat Tuhan saya tentang rahmatan lil alamiin, pembawa kesejukan bagi semesta alam. Konon katanya, ayat tersebut untuk baginda Nabi Saw , sang kekasih Tuhan saya. Konon katanya pula, bahwa sifat rahman-Nya yang berjumlah 1000 itu salah satunya diberikan kepada Nabi Muhammad. Singkat kata, islam adalah agama pembawa rahmat. Masih dalam angan-angan saya terhadap ayat Tuhan tersebut, tiba-tiba ada pikiran yang mengganjal. Kenapa ya, komunitas yang mengatasnamakan agama islam menolak dengan keras terhadap pelantikan gubernur Jakarta, pak Ahok sapaan akrabnya.
Tiba-tiba ada sesosok makhluk yang datang dan duduk dengan membawakan kopi hitam, kopi kesukaan saya pengusir rasa kantuk serta pembawa inspirasi. makhluk itu serasa tak asing bagi saya, ternyata makhluk yang datang dengan membawakan secangkir kopi adalah sesosok pendamping setia dalam keadaan sedih, bahagia, sakit, sehat, galau, suka dan berbgaai perasaan yang lain, ialah bayang-bayang saya sendiri. Hehe.
Apa yang anda pikirkan pak? sapa bayangan-ku memecah lamunanku. Ini masalah rahmatan lil’alamiin, katanya islam itu pembawa rahmat tetapi kok harus melawan Pak Ahok dan membikin Gubernur Jakarta tandingan, Fahrurrozi... Haha, sebelum jauh membicarakan tentang Gubernur, lebih baik membicarakan rahmatan lil’alamiin nya dulu mas.
Islam itu kan diciptakan untuk semua makhluk Allah dan Nabi Muhammad di utus untuk melintasi dua bangsa, bangsa jin dan bangsa manusia. jadi sudah menjadi haknya ummat islam untuk memprioritaskan dirinya menjadi superior. Perlu diingat pula, islam pernah menaklukkan konstantinopel dalam kekuasaan Muhammad Al-Fatih. Lanjut bayangan-ku.
Lhoh lhoh kok gitu? Kita hidup di negara Indonesia, negara yang berdiri atas dasar kemanusiaan, nasib dan perjuangan. Kita terlahir dalam keadaan berbeda pula, kenapa harus kita menuntut hak prioritas kita sebagai makhluk mayoritas di bumi pertiwi ini. Jawab saya.
Coba anda renungkan mas, islam kan pembawa rahmat, so sudah pasti komunitas tersebut ingin menyebarkan rahmat dengan memilih pemimpin yang muslim. Bayangan saya menjawab dengan mudah seolah tanpa beban.
Haha itu kan kamu, bayangan. Saya lebih memilih pemimpin yang non muslim namun jelas integritasnya daripada harus memilih pemimpin muslim tapi tak islami.
Belum selesai saya menjawab, si bayangan langsung memotong pembicaraan saya.
Anda lebih memilih yang bukan muslim? Lantas bagaimana dengan hadits yang mengatakan memilih pasangan hidup itu berdasarkan 4 perkara, karna hartanya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Intregitas dan kapabilitasnya dalam bahasa inteleknya, atau filsafat jawanya bobot bibit dan bebetnya diperhatikan. :D dan juga pak Ahok itu orang yang sombong.
Saya pun langsung memotong pembicaraan bayangan, lhoh itu kan msalahnya terhadap cewek. Ini memilih pemimpin bung, bukan memilih cewek sebagai seorang istri! Pemimpin itu adalah pelindung, penentram rakyat, dan penyelimut rakyat bak seorang istri sebagai penyelimut malam. Jawab si bayangan.
Haha sudahlah lupakan pendamping hidup, kembali pada topik utama pak Ahok! Ini lebih urgen dibanding si cewek. Tutur saya mencoba mengalihkan ke topik utama. Bayangan saya pun tertawa lepas, hahahahaha. Ya sudahlah, kita kembali pada topik utama.
Tadi anda mengatakan, bahwa pak Basuki itu orang sombong. Sombongnya dimana? Dan kapan?. Saya mencoba mengajukan pertanyaan pada sang bayangan. Lhoh kita kan pernah sama-sama membaca koran dipojok tempat suci, ada kalimat yang mengatakan namun tak terkatakan. Pak Basuki Tjahaya Purnama itu sudah mempelajari islam sejak kecil, bahkan dulu disekolahnya sempat akan menghafal Quran namun dilarang oleh gurunya karna pak Ahok kecil non muslim. Jawab bayangan saya.
Terus letak kesalahan dan sombongnya? Saya pun memotong penjelasan bayangan. Kamu itu seringnya memotong pembicaraan yang belum selesai dilontarkan, ini lhoh pak Ahok kan mengatakan saya mampu menghafal al-Quran dan saya lebih islami dibanding yang muslim yang sukanya mengkafirkan orang lain. Saya itu belum dapat hidayah Allah saja. Tutur sang bayangan.
Haha anda mempermasalahkan tentang hidayah? Kan’an yang seorang putra mahkota nabi Nuh saja matinya ditenggelamkan Allah, hidayah itu adakalanya tak harus berupa penunjukkan ke jalan lurus, agama islam saja. Namun adakalanya hidayah itu berupa rahmat Allah. Ilmuwan-ilmuwan non muslim juga banyak, bahkan mereka adalah inspirator, sang penemu alat untuk kemajuan dunia. mari kita renungkan bersama, kisah Imam Syafi’i, yang tiba-tiba lupa(lalai) dengan hafalan-hafalan dan ilmu yang telah di pelajari. Sang Imam, mengeluh kepada Syekh Waki’ (guru beliau). Dan sang guru memberika nasihatnya, ”untuk meninggalkan maksiat. Perlu diketahui ilmu itu cahaya suci, ilu itu cahaya kebenaran, ilmu itu cahaya Allah, dan tak pantas cahaya Allah diberikan pada orang yang bermaksiat.”
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي   #    فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي
 وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ    #           وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa  ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.
Qala Muhammadun huwabnu Maliki, ada yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dalam kajian balaghah ataupun linguistik, sang Imam Alfiyah menggunakan kata Qala yang bermakna madli(lampau), artinya perkataan yang telah dikatakan. Namun kata Qala  ini didahulukan dibanding dengan yang dikatakan (objeknya). Ada apa dengan kata madli? Ternyata sang Imam telah menguasai berbagai kajian nahwu ---dari para pendahulunya termasuk bapak Nahwu Abu Aswad ad-Du’ali atas perintah Sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk membuat gramatika bahasa arab— untuk mengarang kitab Alfiyah ibnu Malik dan semua telah tersusun rapi dalam ingatan sang Imam.
Lebih jauh lagi, ternyata sang Imam pernah menyombongkan diri, bahwa kitab Alfiyah yang masih dalam proses karangannya lebih sempurna dibanding milik guru beliau, Imam Ibnu Mu’thi. Seketika itu, sang Imam bagai tergoyang oleh ombak badai, lenyap  sudah keilmuan beliau.
وَتَقْتَضِي رِضًا بِغَيْرِ سُخْطِ   -   فَائِقَةً اَلْفِيَةَ ابْنِ مُعْطِ
Seketika sang imam Ibnu Malik menuliskan bait tersebut, ingatannya langsung kembali. Sekaliber Barseso pun pernah terjebak pada lingkaran setan, terjerumus dalam lobang jananan tergilas roda iri hati terhadap orang yang lebih khsuyuk dibanding dirinya. Singkat kata, ilmu itu adalah musuhnya orang yang sombong bak banjir musuhnya tempat yang tinggi. Sebagaimana yang diungkapkan imam Az-Zarnuzi dalam Ta’lim Muta’alimnya, mengatakan :
اَلْعِلْمُ حَرْبٌ لِلْمُتَـــــــــــــــــــــعَا لِى   -   كَالسَـــــيـــْلِ حَرْبٌ لِلْمَكَانِ العَالِي
Hidayah Tuhan itu adalah hak prerogatif -Nya. Entah siapapun juga orangnya berhak untuk mendapat hidayah-Nya. saya mencoba untuk menggambarkan kepada bayangan.
Apa yang kamu katakan, hak prerogatif? Hak prerogatif itu telah tercampuri oleh kepentingan. Pak Presiden yang mempunyai hak prerogatif penuh akan pemilihan menterinya pun, harus sowan(laporan) kepada KPK, dan PPATK. Dan bandingkan dengan pemilihan Jaksa Agung, tanpa ada acara sowan kesana kemari, langsung menentukan bahwa Pak Prasetyo diangkat untuk menjadi Jaksa Agung.  Anehnya lagi, sebelum pengumuman Jaksa Agung tersebut, pak Surya Paloh menyempatkan sowan ke Istana Merdeka. Entah saya tak bisa mengira apa yang mereka bicarakan, namun Pak Jaksa baru itu adalah orang partainya Pak Surya. Itu kah hak prerogatif? Bukannya Tuhan mu mengatakan,
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Saya langsung memotong penjelasan si bayangan, jangan mengorelasikan Tuhan dengan Pak Presiden! Hertak saya.
Suara rakyat adalah suara Tuhan, Pak Jokowi adalah pilihan rakyat, pemimpin dari rakyat. Coba euforia penyambutan pak Jokowi saat pelantikan presiden, 20 Oktober lalu. Begitu binarnya wajah rakyat, menyambut presiden ketujuh, presiden harapan rakyat. Bahkan tak sedikit pula yang menganggap bahwa Jokowi pasti bisa menyelesaikan masalah Indonesia. kita luput, bahwa Jokowi hanyalah manusia yang sudah dipastikan terbatas kemampuannya, dia bukan Tuhan yang bisa membolak-balikkan keadaan. Bahkan takjarang pula, ada yang menganggap, bahwa Pak Presiden ketujuh ini adalah Satria piningit. Padahal jauh-jauh hari, sang Proklamator kita telah menegaskan soal satria piningit dalam Indonesia menggugat. “Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya ‘Ratu Adil’. Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan, datangnya pertolongan. Sebagaimana orang yang dalam kegelapan tak berhenti-berhentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap. “Kapan, kapankah matahari terbit?”
sepertinya bayangan telah selesai dengan penjelasannya tentang Tuhan.
Terenung saya, begitukah persamaan Jokowi dengan Tuhan? Tiba-tiba saya teringat perkataan Imam Ghazali, seketika saya lontarkan pada bayangan.
 وَكُلُ مَحْبـُـوبٍ مَعْــبُوْدٌ وَكُلُ مَعبـُـودٍ اِلَـــهٌ كُلُ مَـقْـصُودٍ مَحْـُبوبٌ
“Setiap apa yang kita cita-citakan itu yang kita cintai, Setiap yang kita cintai adalah yang kita rela berkorban untuknya, dan setiap yang kita rela berkorban adalah Tuhan”.
Tiba-tiba bayangan-ku memotong perkataan-ku dengan mengatakan, itu yang saya maksud. Coba kita amati ihwal pak Jokowi akhir-akhir ini, seakan-akan menghendaki kenaikan semua barang kebutuhan rakyat, BBM, listrik, bahan pasar dan lain sebagainya. Kartu sakti yang dijanjikan beliau pun hanyalah manuver belaka. Tutur bayangan saya.
Kok manuver belaka? Tanya saya, saya sangat penasaran dengan bahasa manuver dan kartu sakti Jokowi.
Kartu itu kan sebagai kompensasi atas kenaikan bahan bakar minyak, yang jumlahnya hanya 400.000,00. Bukankah dana kompensasi itu telah dilakukan oleh presiden sebelumnya? Hanya ganti istilah, namun programnya masih sama saja. Jawab bayangan saya.
Owh githu tho permasalahannya, tapi janganlah menilai pak Jokowi dengan kacamata lahir kang!, pemerintahan Presiden kita yang baru masih seumur jagung, belum ada satu tahun apalagi 5tahun. Kita belum melihat hasilnya kang. Saya mencoba memberikan penjelasan biar tidak suudzon.
Satu lagi mas, kita pernah melihat berita yang mengatakan Menteri BUMN Ibu Rini akan menjual gedung BUMN, entah apa motifnya, namun hemat saya adalah aset negara kok dijual? Nanti lama-kelamaan Istana Merdeka dan Istana Negara juga bakal dijual, ini lebih parah dibanding pendahulunya menjual Pulau dan Indosat. Jangan salahkan rakyat, jika rakyat membrontak jika benar-benar Istana Rakyat dijual. Ini sudah menjual Indonesia. Bayangan pun terus memberikan argumennya.
Sekali lagi kita ini rakyat jelata, tunggulah. Biarkan pak Presiden, wakil Presiden beserta para pembantunya bekerja bekerja bekerja demi kesejahteraan rakyat. Janganlah menilai manusia dari dhahirnya, masih ingatkah dengan cerpen karangan KH. Musthofa Bisri yang berjudul “Gus Ja’far”, gus Ja’far yang disuruh Ayahnya untuk bertemu Kyai Tawakkal atau biasa dipanggil Mbah Jogo dalam lingkungan kyai Tawakkal, mp3 cerpen yang pernah kita dengarkan bersama kawan-kawan saya dipenghujung malam. Pesan yang diambil adalah, janganlah menilai secara dhahir kepada orang-orang yang di warung remeng-remeng tersebut. Karena apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening.
Bayangan-ku memotong pembicaraan dengan mengatakan, itu tugas kamu sebagai raga, saya hanyalah ruh yang di tiupkan oleh Gusti sebagaimana firman-Nya
$sY÷xÿoYsù $ygŠÏù `ÏB $oYÏmr
“lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami “
Jadi tugas saya itu melihat dengan batin, dan tugas kamu melihat dengan dhahir. Tutur bayangan saya.
Wah, wah, wah anda keras kepala ya. Sebenarnya anda itu nafsu yang di cuci ratusan kali oleh Allah dalam sungai neraka kah, sebelum di letakkan dalam raga mansia? Yang konon katanya, saat Sang Hyang Widi menciptakan akal dan nafsu, Allah menanyakan pada keduanya tentang siapakah yang menciptkan kalian berdua? Sang akal menjawab, saya diciptakan oleh Tuan, wahai Gusti dan si nafsu menjawab saya ada dengan sendirinya. Dan anda baru sadar setelah di rendam beberapa ratus kali, anda baru sadar bahwa Allah-lah yang menciptakan anda dan semesta ini. Bukan begitu ceritanya? Tanya saya pada bayangan yang dari tadi mengisi waktu senja saya.
Haha bukan urusan anda! Jawab bayangan sambil menghentakkan tangannya pada lantai.
Wah, wah Gusti janu-janu(mungkin) salah menciptakan anda. Haha sambil ketawa saya. Tapi kenapa Allah mengatakan Rabbana ma khalaqtabathilan, wahai Tuhan kami tidak ada yang Engkau ciptakan dengan sia-sia.?
Haha atau mungkin kita tertukar ya, sebenarnya kamu yang jadi ruh dan saya (ruh) yang jadi kamu (raga))....
Hahahahahhahahah.... hahahahahahaha kamipun asyik tertawa lepas.
Dan tiba-tiba bayangan itu pergi, dan saya mencoba bertanya. Mau kemana kamu. Berlindung pada yang lain, mencari kehidupan yang lain :D
Hahhahaha jawab saya sambil tertawa, namun tiba-tiba saya merasa heran. Konon katanya ruh itu tak akan kesasar (salah jalur) pada raganya, seperti yang diungkapkan syiir tanpa waton karangan Gus Dur, “Lamun palastro ing pungkasane, Ora kesasar roh lan sukmane”. Tapi kok bayangan saya hilang ya,? Kemana dia?
Tiba-tiba bayangan itu kembali dan masuk dalam raga ini. Dan semoga tak akan pernah keluar lagi sebelum Gusti menakdirkan Innalillahi wainna ilaihi rajiun.


Kamis, 18 Desember 2014

Angin, belum ketemu judul.

Hai angin, masihkah kau meniup kesejukan.
Berlagak bak bidadari, masihkah kau menjadi diri sendiri.
Atau justru termakan oleh intervensi, menjajahkan diri sendiri.
Atau justru kau tak mampu untuk melawan, karna kau tak punya kekuatan.
Masihkah ada secercah cahaya menembus dinginnya angin malam, membalutkan pada selimut tuk tidur dengan tentram.
Atau kau telah menjadi bencana alam ditengah korban kapitalis, merusak sendi-sendi peradaban menjadi jiwa yang apatis.
Atau kau tetap  menjadi angin bak oase dipadang gurun, menembus kejamnya perhelatan.
Atau kau tetap menjadi angin kesejukan ditengah percaturan ideologis, namun terhasut pada jiwa materialis berpandangan hedonis.

Senin, 08 Desember 2014

Menjadi pemimpin dan pelaku

Seandainya ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Djayadigdo berupa aji-aji pancasona bisa diperoleh, yang konon katanya beliau hidup kembali ketika tanah menyentuh beliau akan tapi bukan rekarnasi namanya. Seandainya pula, waktu itu Pangeran Diponegoro bukan orang sakti, mungkin peperangan di Jawa Tengah tak akan berlangsung selama 5 tahun, 1825-1830. Andai kata, sewaktu perang Bharatayuda antara Pandhawa yang dipimpin oleh Yudhistira dengan empat saudara beserta pasukannya bukan orang-orang yang sakti mandraguna untuk melawan Kurawa yang dibawah komando Duryudana beserta seratus saudaranya yang dibantu oleh pamannya Sengkuni tak tertinggal pula pasukannya untuk memperebutkan kekuasaan di Hastinapura, tak bisa dibayangkan betapa hancurnya Pandhawa dan mungkin Yudhistira bersama saudaranya tak akan pernah pergi ke gunung Himalaya untuk karsyan patapan (mujahadah) kepada Sang Hyang Widi sebelum menemui ajalnya dan berakhir hidup kekal di surga Tuhan.
Kita tak bisa membayangkan, jikalau para walisongo menyebarkan Islam di Nusantara khususnya di Jawa dengan model dakwah para pejuang pembela Islam dengan mengharamkan berbagai tradisi Nusantara yang telah ada, mungkin eksistensi Islam jawa atau Islam Nusantara tak akan menjadi ummat Islam terbesar sedunia, atau bahkan Islam tak akan pernah eksis di Ibu Pertiwi. Islam hanyalah tamu yang datang, para walisongo menyadari hal itu beliau memakai dakwah dengan karakteristik mayarakat setempat. Tak bisa disamakan antara dakwah putih yang digagas oleh sunan Ampel dengan dakwah abang(red. Merah) yang digagas oleh sunan Kalijogo. Walisongo sendiri terbagi menjadi dua model dakwah, bukan berarti sunan Kaijogo tak paham esensi Islam, bukan pula Sunan Ampel tak mendukung dakwah sunan Kalijogo. Akan tetapi, kondisi masyarakat di Ampel Denta Suroboyo berbeda dengan di Kadilangu Demak. Kebudayaan yang lahir atas kesepahaman dan kesepakatan oleh masyarakat menjadikan wayang sebagai budaya dan tradisi di Kadilangu. Darah sapi tak boleh mengalir di Kudus, itulah larangan sunan Kudus sebagai tanda toleran terhadap ummat Hindu yang telah lama menghuni di Kudus. Sapi sebagai hewan suci untuk agama Hindu, tak heran jika sang sunan melarang untuk menyembelihnya. Sunan Bonang dengan alat musiknya telah meluluhkan hati orang-orang Tuban. Mereka para sunan mampu mensinkretisme(mengawinkan aliran dengan budaya lokal), sehingga Islam mampu dterima dengan tangan terbuka serta lapang hatinya. Namun berbeda dengan kondisi di Ampel Denta Suroboyo, yang mayoritas penduduknya adalah para begal, peminum minuman keras, berjudi, pelaku seks komersial, oleh sebab itu sang sunan berdakwah amar makruf nahi mungkar. Begitu juga yang dilakukan oleh sunan Drajad (putra sunan Ampel) dengan cara dakwahnya membangun perekonomian rakyat.
Rakyat Indonesia yang telah sabar untuk berperang tanpa menyerah kepada penjajah, merupakan anugerah terbesar Tuhan. Kalaupun sewaktu  itu, rakyat lebih memilih menjadi negara yang merdeka akan tetapi menjadi bagian dari penjajah layaknya negara Malaysia negara merdeka bagian Inggris, mungkin tak akan pernah terdengar lagu syukur, lagu padamu negri, lagu Indonesia Raya yang selalu kita nyanyikan, atau kita tak akan pernah merasakan indahnya mengatakan “merdeka” dengan suara lantangnya Bung Karno sang orator ulung penggebrak semangat rakyat, arek-arek Suroboyo tak pernah akan  turun mempertahankan kemerdekaan Indonesia jikalau Bung Tomo tak pernah mengatakan “Merdeka” kepada rakyat Suroboyo, atau juga tak akan pernah ada monumen 3 Oktober 1945 di Pekalongan sebagai tanda kegigihan mengusir penjajah yang masih bercongkol di Pekalongan dengan satu kata “merdeka”. Semua itu tak akan terasa jikalau rakyat merasa lelah, hanya pasrah terhadap penjajah.
Perjuangan rakyat Indonesia bukanlah masa yang singkat namun berabad-abad pula kita hidup dengan egoisme, kita bukan melawan penjajah asing tapi justru kita melawan sesama saudara bangsa. Kita mudah di adu domba, Belanda dengan sengaja melakukan politik devide et impera (politik adu domba). Antar keluarga, antar ras, antar suku, antar daerah saling bertikai satu sama lainnya. namun perjuangan Indonesia baru dimulai dengan terbentuknya organisasi Budi Utomo, 20 Mei 1908. Organisasi inilah yang menjadi tonggak persatuan, untuk kepentingan Bangsanya, melawan penjajah bukan melawan saudara setanah airnya. Sebagai puncak, lahirlah sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai embrio bahwa rakyat Pribumi sudah insyaf untuk melawan penjajah Belanda. Tidak berhenti disitu, sumpah yang di deklarasikan itu, bukanlah sumpah yang tak ada implementasinya sebagaimana sumpah para dewan wakil rakyat yang gemar bersumpah dikampanye, bersumpah jabatan di saksikan kitab suci agama masing-masing dewan namun tak insyaf jiwa-jiwa mereka bak kerdus yang kosong terkena air pula dan tak berguna pula. Sumpah pemuda  menjadi semangat untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, sebagai puncaknya lahirlah Indonesia sebagai negara penggalan surga yang seakan-akan surga pernah bocor mencipratkan keindahan, kesejahterkan dan kekayaan untuk dikelola, ditanam, dan dimanfaatkan untuk kesejahteran rakyat Bumi pertiwi--yang berabad-abad hidup dalam kemiskinan, kelaparan, kepriatinan dibawah kapitalisme penjajah-- dengan kemerdekaan Indonesia berdikari dalam segala lini kehidupan bernegara , 17 Agustus 1945.
Semua peristiwa yang terjadi bisa menjadi barometer untuk kehidupan kita, sebuah karya harus ada penolakan. Sebuah kesuksesan harus ada manifestasi kegagalan dan kesabaran. Sebuah cita-cita harus ada pengorbanan. Singakat kata, Anies Basweden mengatakan “perjuangan adalah pelaksanan dari kata-kata”.
Namun peristiwa yang terjadi adalah buah dari kesabaran dalam menempuh hidup. Jikalau Ki Ageng Djayadiga, Pangeran Diponegoro, Walisongo, para Pejuang Kemerdekan dan orang-orang yang mempunyai keistimewaan, bukan termasuk orang-orang yang dihatinya terdapat kesabaran, mungkin mereka tak pernah ada dalam manuskrip sejarah Indonesia.
Sabar merupakan sebuah tantangan tersendiri, sabar adalah ujian terberat Tuhan yang sengaja diberikan kepada manusia. makanya jauh-jauh hari Allah memperingatkan kita dalam hadits Qudsi-Nya, :
 مَنْ لَـمْ يَرْضَ بِقَضَائِي وَلَـم يَصْبرْ عَلَى بَلَائِي وَلـَم يَشكُرْ على نِعَمَائِــي فَـلْـيَتَخِذْ رَبًا سِوَائِي
“Barangsiapa yang tak ridla dengan kepastian-Ku, barangsiapa yang tak sabar akan ujian-Ku, barangsiapa siapa yang tak syukur akan nikmat-nikmat-Ku maka carilah Tuhan selain Aku (Allah SWT).”
Semua akan indah pada masanya, kita akan menikmati apa yang menjadi perjuangan kita. Kalaupun sewaktu itu, bapak manusia dunia nabi Adam menolak memakan buah khuldi dari pemberian iblis yang menyamar Hawa, mungkin kita tak akan pernah merasakan perjuangan, tak pernah ada pertikaian, tak kan pernah meraskan kerasnya hidup, tak pernah kita merasakan manis pahitnya jatuh cinta, kita juga tak akan pernah memperoleh ilmu Tuhan yang bak samudera tak ada ujungnya.
Kita hanya duduk manis menikmati surga, semua permintaan, jamuan, bidadari dan apapun juga keinginan kita ada dalam pandangan kita. Namun kita tak akan pernah merasakan keras dan kejamnya hidup, cinta dan ilmu.
Andai kata, saat itu Rasulullah meminta agar ummat ini dibinasakan sebagaimana permintaan nabi Nuh, nabi Luth dan juga nabi-nabi lainnya terhadap ummatnya, mungkin kita tak akan pernah ada dalam dunia ini. Inilah bukti kecintaan Nabi Adam dan Rasulullah saw, agar ummat-nya merasakan pahit manisnya kehidupan berbalut kesabaran, ketekunan, keuletan untuk menyongsong kehidupan lebih baik. Sudah selayaknya, suatu saat nanti kita akan menikmati jerih payah kita, menikmati mandi keringat kita dengan kesuksesan. Sebuah syair arab mengatakan, :
اعْلَمْ فَــــــــــــــــــــــــعِلْمُ المرْءِ يَنفَعُـــــــــــــــــــــــهُ – اِنْ سَـــــــــــــــــــــوفَ يَأْتِي كُلُ مَا قُــــــــــــــــــــــــــدِرا
Yakinilah, ilmu seseorang itu akan bermanfaat. Sesungguhnya pula, suatu waktu akan datang kesuksesan yang selama ini dicita-citakan.
Seorang ilmuwan pernah berkata, tak pernah ada orang sukses yang mati tenggelam di lautan keringat. Dan suatu waktu pula, kita akan menjadi pemimpin penentu kemajuan bangsa dan negara, mampukah kita menjawab tantangan zaman dengan dedikasi yang akan kita sumbangkan untuk bangsa dan negara serta agama.
Hari ini, kita adalah pemimpi dan pejuang, namun suatu saat nanti, kita sama-sama menjadi pelaku dan pemimpin menggantikan generasi sebelum kita untuk kearah yang lebih baik. Bung Karno pun pernah berkata "pemimpin itu lahi dari jalan yang tak terduga". Dan waktulah yang akan menjawab dan membuktikannya, imam Ibnu Malik jauh-jauh hari telah memberi isyarat dalam kitab Alfiyah nya mengatakan :
يَــنُوبُ مَفْعُــــــــــــــــولٌ بِهِ عَنْ فَاعِـــــــــــــــــــــــلِ – فِيمَا لَهُ كَنِيْـــــــــــــلَ خَيرُ نَائِـــــــــــــــــــــــــلِ
Sebuah generasi muda (obejek kebijakan) akan menggantikan generasi sebelumnya, menjadi seorang pemimpin pembuat kebijakan. Dan itulah anugerah yang terbaik dari Sang Pemberi Anugerah.

Ini bukanlah tulisan motivasi, namun ini hanyalah buangan pikiran saya. Ini hanyalah sebuah do’a lewat sebuah tulisan yang tak bekertas, tak bertinta pula. Semoga ada manfaat dan barakah untuk kita semua, semoga pula kita digolongkan Allah dalam golongan orang-orang yang sabar hati, jernih dalam berpikir, cerdas dalam bertindak, dan arif serta bijak dalam berprilaku. Semoga Tuhan menolong kita. 

Sabtu, 22 November 2014

Tak ada (lagi) intervensi

Aku mulai percaya dengan keberadaan Tuhan, rasa keraguan pada Nya pun mulai terkikis oleh sang waktu. Aku bukan kelompok atheis yang tak menganggap eksistensi sang pencipta, sang pengatur jagad serta sang pemilik semesta ini. Aku bukan pula seorang yang memuja benda benda keramat untuk dijadikan Tuhan saya, bukan pula penyembah benda benda besar bak nabi Ibrahim mencari Tuhan pada hal yang baru ditemui oleh-nya, ya benda besar yang lebih besar dan akhirnya mengantarkan dirinya pada Dzat tak berwujud nyata namun menenangkan hati serta pikiran.
Aku hanyalah pencari kebenaran akal pikiran saya di tengah kegaduhan lingkungan saya, paling tidak mencari pembenaran mereka gaduh dengan kalam kalam Nya. sesering pengkajian dimulai untuk menemukan eksistensi Nya, semakin membuat kita terbang diatas angin. Menembus sekat langit, tak sadarkan diri bak pemabuk dan pecandu narkoba menikmati fly, penenangan hati yang gaduh, galau, resah, kesal, sebal dan sesama saudaranya.
Setiap orang akan menemukan jalan menuju Tuhan dengan berbagai caranya Tuhan menyajikan jalan untuk menuju jalan kebenaran, selama kita membuka mata hati kita , percayalah kita ada dalam kebenaran sejati.
Lantas bagaimanakah kita menyikapi semuanya, jalan menuju Gusti? Bukan berarti takdir Tuhan diatas segala galanya. Bukan berati hak prerogatif Tuhan akan membelenggu kita? Kita masih punya dassar untuk berbuat, Tuhan tak akan mengubah nasib kaum selagi kaum itu tak mau mengubah diri sendirinya atau berapa banyakkah ayat tentang urgensi berpikir dan bertindak? Tadzakkarun ta’qilun tafakkarun yang semuanya mempunyai arti serta maksud yang sama.
Mulailah mulailah dan mulailah untuk sejenak percaya pada diri dan kekuatan kita, kekuatan batin kita kekuatan pikiran kita. Hidup itu yang menentukan kita, bukan intervensi  atau bahkan intimidasai oleh keluarga, saudara, sahabat, teman atau masayarakat. Mereka hanyalah mewarnai bukan penentu kehidupan kita. Percayalah pada diri sendiri dan percayalah pada Nya, sang Gusti.
Diakhir tulisan ini, akan mengutip sebuah maqalah dalam syair alfiyah ibn malik sang literatur kitab yang fenomenal. Terlahir di benua yang bukan mayoritas Islam-untuk sekarang- tapi melahirkan tokoh tokoh yang tak diragukan lagi dalam pemikiran pemikiran Islam, inilah eropa masa silam.
ومن ضمير الرفع ما يستتر "  كا فعل اوافق نغتبط اذ تشكر

Suatu keberhasilan seseorang itu tak akan terlihat, tersimpan rapi oleh Nya # maka lakukanlah yang engkau yakini, ikhlas serta qana’ah dalam menjalaninya dan akhirnya kamu akan merasakan taqdir yang baik itu (keberhasilan) dengan rasa syukur pada Nya.          

Celoteh yang (tak) ada referensi

Jutaan kata tlah aku selesai membacanya, bahkan tak jarang pula ada kosa kata yang menyangkut. Jutaan kata telah tertanam rapi, tersusun secara sistemik. Jutaan kata membentuk semangat baru, menata kehidupan kelak.
Berbagai literatur tlah aku selesaikan baca tuk menyemangati diri sendiri, hidup pada masa sekarang dan merencanakan masa depan. Paling tidak, menghibur diri sendiri atau lebih parahnya lagi adalah membenarkan niatan saya. Manuskrip-manuskrip yang mencantumkan ungkapan mutiara dari para ilmuwan, cendikiawan, ulama, pastur, romo, uskup, bhiksu, pandhita, ustadz, kyai, habib, pemimpin rakyat, dan tokoh masyarakat. Bahkan tak jarang pula, kata-kata itu telah di implementasikan dalam kehidupan saudara-saudara kita pejuang sesuap nasi.
tanpa disadari, mutiaara tersebut telah membius pikiran saya. Seketika it, saya langsung diam membius, memperhatikan dengan serius (Inshot). Seketika pun, saya mengamininya dan tak ada memori saya “yang” mencoba tuk menolak kata-kata itu. Seketika pun, saya langsung punya semangat baru, mindset baru, semacam pencerahan dari Gusti dengan perantara manuskrip, literatur,mutiara kata bijak dari tokoh penyemangat hidup (red.motivator).
yah, mutiara bijak itu ialah semangat menata hidup, Rekontruksi kehidupan. Setelah menelaah kata-kata itupun saya tersugesti tuk kembali memulai hidup dengan penuh semangat menyonsong kehidupan kelak, kesuksesan masa depan.
Namun setelah penelaahan, merenung dan siap tuk mengimplementasikan dalam kehidupan. Apa daya? sifat malas, bosan, jenuh dan lain sebagainya menghampiri. Dan ketika sudah menjelma dalam alam bawah sadar saya, saya pun mencoba membenarkan sifat malas(aras-arasan).
Mulailah saya menyusun lagi, mencari kekuatan semangat lagi dengan mambaca, menelaah, mendengarkan atau menyaksikan dari para motivator. Dan akhirnya pun, sesering saya mengkaji ujung-ujungnya pun bermuara pada sifat aras-arasan (lagi). Saya mencari pembenaran dari yang saya rasakan, ’’yah, biarkan sajalah nikmati sifat malas ini, biarkan saya bermaksiat dulu nanti juga pasti Tuhan akan menunjukkan saya ke jalan Nya, memberikan hidayah dan taufiq Nya pada saya, dan saya pasti bisa sukses”
Seketika hati, pikiran, dan jiwa saya pun merasa nyaman setelah pembenaran hal itu. tapi seketika, saya bertanya pada diri sendiri. Siapakah anda? Siapakah yang akan menjamin bahwa sampian akan mendapatkan hidayah? Siapakah yang menjamin bahwa sampian akan mendapatkan ilmu yang luas? Mendapatkan wawasan yang dalam? Adakah yang menjamin, bahwa anda akan sukses dunia dengan harta yang melimpah? Siapakah anda? Anda keturunan kyai kah? Keturunan habib kah? dan adakah yang menjamin bahwa anda akan masuk surga? Atau pula ada yang menjamin anda tak akan di tanyai oleh malaikat dua di alam barzah kelak?
Fundamental mental kita ialah bercita cita yang tak realistis, hidup dengan mimpi. Teringat dengan Jamaluddin ar-Rumi yang mengatakan “kita terlahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam keadaan mimpi dan kita mati sebelum kita terbangun”. Mungkinkah nanti saya akan merasakan hal yang Jamaluddin ungkapkan, mati sebelum terbangun? Dan saat itu pula, hidayah Tuhan belum nyasar ke dalam kehidupan saya. Saya masih terjerumus dalam sifat kejelekan, terjerumus dalam lubang jalanan digilas kaki sang waktu yang sombong, dan mimpi-mimpi mendapatkan hidayah akan terkubur bersama tumpukan tanah. Tuhan pun lebih memilih bertemu saya lebih cepat dari perkiraan saya. Mungkin Tuhan rindu dengan saya, Tuhan tak memberikan hidayah pada saya dan memilih saya tuk bertemu dengan Nya dengan keadaan bahwa saya belum sempat terbangun. Budayawan Cak Nun pun mengingatkan “Menggeliatlah dari matimu”. Lantas adakah naluri tuk menghapus niatan pembenaran rasa jelek itu? Bismillahirrahmanirrahim La haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim, tak ada kekuatan selain kekuatan Mu ya Gusti. Ihdinassiratal mustaqim,.

Rabu, 24 September 2014

menjadi guru profesional

Mereka adalah orang yang didalam hatinya terdapat kepentingan ilmu, mereka adalah makhluk intelijen Tuhan untuk ikut turut serta mentransfer ilmu Tuhan, mereka diciptakan Tuhan dari ketidak tahuan menjadi mengerti dari mengerti menjadi memahami dan dari memahami menjadi memahamkan orang lain.
Mereka terbebas dari sarat kepentingan dunia, dihati mereka terlepas jabatan bahkan  tak terlintas dibenak pikiran serta hati mereka untuk dipuja oleh masyarakat. Namun, janji Allah dalam meluhurkan orang-orang berilmu tak pernah dusta, firman Allah SWT :
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujaadillah : 11)
Begitulah Allah meninggikan derajat mereka yang berilmu, mereka yang mengajari orang-orang yang belum mengetahui menjadi paham, dari yang sudah mengerti menjadi paham, mereka adalah Guru, mereka adalah Mua’llim, mereka adalah teacher.
Namun pada hakikatnya, tak semua orang diciptakan menjadi seorang guru. Tripikal orang berbeda-beda, dengan takdir Tuhan yang telah digariskan pada dirinya. Ditelusuri dari benang merahnya, tak sepantasnya mereka yang tak mempunyai jiwa keguruan terjun pada bidang pendidikan.
Tugas seorang guru yang begitu besarnya, menyangkut kunci keberhasilan anak didiknya, menyangkut kemajuan bangsa dan negaranya. Tugas begitu besar yang diberikan oleh guru untuk turut menjaga estafet keilmuan, tidak semata-mata dilakukan hanya sebagai formalitas belaka. Selayaknya, seorang guru terbebas dari kepentingan duniawi entah itu gaji, jabatan atau sertifkasi yang tengah marak di negeri penggila ilmu ini.
Kita coba tengok dan kaji bersama, beberapa literatur yang telah mengupas seluk beluk keilmuan demi mencerdaskan para penggila ilmu. Mereka tak pernah terlintas dibenak pikiran mereka apakah saya akan digaji, apakah saya akan dipanggil guru atau tidak? Yang ada di pikiran mereka hanyalah semoga bermanfaat bagi yang membaca dan bagi yang mempelajarinya.
Guru adalah seorang yang ahli dalam bidang keilmuan tertentu, yang mereka telah gelutinya dengan belajar beberapa tahun untuk mendapat legitimasi sarjana pendidikan. Makanya tak diragukan lagi kredibilitas keilmuan mereka. Mereka telah teruji, mereka telah terlatih untuk menghadapi dunia pendidikan.
Namun kenyataannya, tak jarang banyak orang yang belum memiliki kredibilitas dan legitimasi untuk mengajar justru telah mengajar di sekolah-sekolah. Atau justru banyak orang yang telah memiliki legitimasi mengajar dengan satu ilmu, malah mengajar bidang ilmu lain. Mari kita tengok para ulama salaf, imam Syafi’i beliau ahli dalam bidang fiqh, beliau juga ahli tafsir, dan hadits namun beliau lebih fokus pada bidang ilmu fiqh. Imam Ghazali, kita kenal bersama dengan ulama tasawuf, namun beliau bukan orang yang tak paham dengan hadits, fiqh, tafsir dll, namun beliau lebih fokus pada bidang tasawufnya. Dari sinilah, selayaknya seorang guru untuk bisa fokus pada keahliaan bidang ilmu yang mereka gelutinya.
Pahlawan tanpa tanda jasa yang telah tersemat pada guru. Pahlawan adalah orang yang berjiwa penuh untuk berjuang demi kepentingan orang lain, mereka rela berkorban demi orang lain layaknya lilin yang lebur demi menerangi sekelilingnya. Seorang guru seharusnya memiliki dedikasi penuh untuk mentransfer ilmu pada orang yang membutuhkan. Dedikasi yang mengantarkan pada kecerdasan orang-orang yang masih gersang akan siraman hikmah Tuhan, ilmu.
Janganlah khawatir bagi para pengajar yang budiman nan mulia, ditangan mereka terdapat masa depan bangsa. Dengan dedikasi dan ketangguahan yang kuat akan melahirkan para pemimpin-pemimpin yang kelak akan mengharumkan bangsa dan negara. jika dedikasi yang mereka lakukan besungguh-sungguh dengan balutan niat yang baik maka akan membuahkan hasil. Sebagaimana layaknya sebuah maqalah arab dalam kitab Ta’limul muta’llim karangan Syekh Az-Zarnuzi yang mengatakan :
من قرّع الباب ولجّ ولج
“Barangsiapa yang ingin mengetuk pintu, maka majulah dan ketuk pintunya dan kemudian masuklah kedalam”. Jika menginginkan untuk kesuksesan, maka kita harus berani untuk melangkah lebih maju dengan penuh dedikasi dan pada akhirnya akan membuahkan hasil.
Kasih sayang yang seharusnya ada dalam jiwa pendidik untuk niat yang baik, mentransfer ilmu dan mencerdaskan anak didiknya. Kasihsayang tanpa diskriminasi pada siapaun juga, tak pandang bulu akan ahwal muridnya. Sesering apapun anak didik mengecewakan relung hati guru, senakal apapun mereka, ketidak tahuan mereka yang tak habis-habis “bodoh” namun seorang pendidik harus sabar harus memiliki jiwa kasih sayang. Sebuah maqalah dalam kitab Da’watul Ikhwan karangan KH. Mudzakir bin Faholi mengatakan :
   والرّفق والتــأنّى ترك الأنفة   وتركه المزاح ترك الّلعبة
 Adab seorang mu’allim (Guru) adalah mempunyai sifat kasih sayang, sifat sabar dalam mengajar, meninggalkan sifat sombong, meninggalkan sifat bercanda berlebihan, dan meninggalkan bermainan yang tak berguna.
Kasihsayang juga bisa dengan menghargai anak didiknya, menjunjung harga diri mereka. Tak pernah mendiskriminasi pada siapapun juga. Lebih-lebih, seorang guru bisa mengetahui nama anak didiknya satu persatu sehingga anak didiknya akan lebih merasa dihargai dengan sang guru mengetahui  nama-nama mereka.  Panggilah mereka dengan panggilan kasih sayang, entah mas, mbak, dll. Jangan panggil anak didik dengan nama mereka saja, sehingga akan tercipta jurang yang amat dalam. Jika memanggil anak didiknya dengan panggilan mas atau mbak sebelum nama aslinya, akan tercipta jarak yang lebih dekat seakan-akan teman atau sahabat yang sudah saling kenal dan akrab.
Seorang guru adalah pendidik bukan pengajar yang hanya mengajari mereka sampai mengerti. Pengajar tugasnya hanyalah mengajari sampai anak didik mengerti akan sebuah ilmu yang dibahas. Namun guru layaknya seorang pendidik yang bukan hanya mengajar tapi mendidik jiwa, raga dan keintelektualan mereka anak didik. Secerdas apapun seorang murid, namun jika berlaku buruk akan menghancurkan diri dan lingkungannya. Seberapa banyak ijazah yang dikeluarkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia untuk para tunas bangsa? Seberapa banyak ijazah yang dikeluarkan perguruan tinggi sebagai legitimasi keintelektualan mereka? Indonesia bukan negara yang miskin akan orang-orang pintar, kita pernah memiliki Pak Habibie yang diakui kecerdasan dalam bidang teknologi oleh Jerman, kita juga memiliki Pak Quraisy Syihab yang kecerdasannya melebihi diatas orang-orang luar negeri saat beliau menuntut ilmu diluar negeri, kita juga memiliki Pak Said Aqil Siradj yang juga telah diakui kecerdasannya oleh paraGuru Besar di Arab Saudi dan masih banyak para penngila ilmu negeri ini yang cerdas dengan bidang ilmu masing-masing.
Namun kita masih miskin akan kredibilitas keilmuan mereka, mereka para intelektual tak pernah menunjukkan mereka adalah orang yang berilmu, malah justru dengan keilmuannya membodohi saudara sebangsanya, korupsi kolusi dan nepotisme seakan-akan menjadi gaya hidup mereka untuk mengejar nafsu syahwat hedonisme dan materialisme. Oleh sebab itu, seorang guru harus berprilaku yang baik agar anak didiknya mencontoh tindak laku gurunya. Bukankah Lisanul hal afsahul min lisanil maqal (Tindak perilaku lebih bermakna daripada perkataan).
Dan yang paling akhir, adalah seorang guru haruslah  bersabar dalam mendidik. Ajari mereka dengan penuh keuletan, kesabaran sehingga mereka benar –benar paham. Posisikan guru seakan-akan menjadi murid yang paling “bodoh”, gunakan bahasa yang sekiranya semua menjadi paham. Yang sebelumnya tidak mengerti menjadi mengerti, yang sebelumnya kurang mengerti menjadi paham. Ambil standard penyampaian materi dari standar yang paling rendah agar semuanya mengerti dan paham, bersabarlah untuk mengajari dan mendidik mereka yang kelak akan menjadi tabungan amal ibadah kalian, para pendidik makhluk intelijen Sang Hyang Widi.
والإقتصارعندمايعلّم         بقدرمايفهمه المتعلّم
فى ذاك لاقتداءسيّدالبشر   محمّدالموصوف بالصدق الأبر
Adab seorang Guru adalah jangan terlalu bertele-tele dalam menyampaikan materi, sampaikan dan ajari anak didik dengan bahasa yang mereka bisa cerna sehingga mereka mudah memahami materi yang diajarkan. Itu semua karena mengikuti perilaku Nabi Muhammad saw yang ketika mengajari serta mendidik para sahabatannya menggunakan perkataan yang lembut, mudah dipahami dan santun serta sabar dalam mendididk dan mengajari para sahabatnya.