SPEMBAHARUAN FIQIH
REVITALISASI TURAT
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu
: H. Fakhrudin Aziz, Lc., PgD., M.SI.
DisusunOleh :
Muhammad Daris Fithon 123211055
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I. Pendahuluan
Bila
ada kata yang saat ini sedang hangat diperbincangkan maka salah satunya adalah
Pembaharuan, atau tajdid bahasa Arabnya. Pembaharuan memiliki arti yang
sifatnya tidak mutlak dapat berkonotasi positif, dapat pula berkonotasi
negatif. Bisa berupa pembaharuan yang dipuji dan diserukan oleh Allah s.w.t
dalam firman-Nya, namun bisa juga pembaruan yang justru dicela, ditolak dan
dilarang oleh ajaran Islam. Oleh karena itu perlu memahami pembaharuan mana
yang harus dilakukan dan mana yang perlu ditinggalkan bahkan ditolak. Apabila
pembaharuan dimaksudkan sebagai pemurnian ajaran Islam dari selundupan
ajaran-ajaran jahiliyah serta berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan ajaran
Islam tersebut, pembaharuan semacam ini tentu pembaharuan yang dipuji oleh
Allah s.w.t. Demikian pula, tidaklah dilarang pembaharuan yang membuka pintu
ijtihad bagi mereka yang memang memiliki kemampuan dan keahlian dalam
berijtihad, mempersiapkan dan mendidik orang-orang agar mampu berijtihad serta
menggali hukum-hukum syara untuk menjawab problematika kehidupan yang terus
menerus bermunculan. Peranan pembaharuan adalah ketika manusia memahami
apa yang ada didalam pedoman tersebut secara tekstual, sehingga akan tampak
jika pedoman tersebut tidak lagi relevan jika digunakan sebagai pedoman untuk
konteks kekinian. Dari sini muncul pertanyaan yang harus dijawab, apakah kita
diperbolehkan untuk memahami pedoman tersebut secara kontekstual yang berarti
mebaharui pemikiran yang telah ada sebelumnya.
Dalam
hal ini kami akan membahas tentang pembaharuan fiqih. Karena hukum Islam adalah
dinamis, dan dipastikan akan mengalami perkembangan.
II.
Rumusan
Masalah
A. Bagaimana sebenarnya dinamika persoalan
keumatan?
B. Perlukah merevitalisasi turats?
C. Mungkinkah mendesain fiqih Indonesia?
III. Pembahasan
A. Dinamika persoalan keumatan.
Dinamika
persoalan keumatan belum terlalu sering dikaji oleh para fuqaha, karenanya
masih sering terdapat perselisihan antaranya. Dinamika ini mecakup beberapa
cabang fiqh, diantaranya :
1. Fiqh minoritas
Fiqh
Minoritas (fiqh al-aqalliyât) sebenarnya bukanlah suatu bentuk fiqh yang
seratus persen baru dan terpisah dari fiqh tradisional. Fiqh minoritas hanyalah
salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqh yang luas dalam Islam (fiqh makro).
Ia merujuk pada sumber yang sama, yaitu al-Qur'ân, sunnah, ijmâ', dan qiyâs. Ia
juga menggunakan metodologi ushûl fiqh yang sama dengan fiqh lainnya.
Namun
demikian, fiqh minoritas ini perlu dibedakan dari fiqh yang lainnya, karena ia
mempunyai sifat khusus yang disebabkan oleh realitas khusus, dan didesain untuk
kepentingan kemaslahatan kaum minoritas muslim di negara-negara Barat, utamanya
di Amerika dan Inggris.[1]
2. Fiqh prioritas
Umat Islam
mempunyai potensi yang sangat besar dan memadai dari segi sumber daya alam,
manusia, ekonomi, pemikiran, budaya, politik, moral maupun fisik. Namun dalam
penempatannya masih sering terjadi disalokasi potensi. Hal ini disebabkan poleh
tidaknya pemahaman mengenai prioritas amal perbuatan. Inilah pentingnya
pemahaman tentang fiqh Prioritas seperti yang digagas oleh Dr. Yusuf
al-Qardhawi.
3. Fiqh gender
Fiqih ini
membahas kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan pada tahun 1984, para
aktifis gender menargetkan agar keadilan dan kesetaraan gender benar-benar
terimplementasikan di Indonesia belum sepenuhnya tercapai.
4. Fiqh social
Secara singkat
dapat dirumuskan, paradigma fiqih sosial didasarkan atas keyakinan bahwa fiqih
harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan
manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah),
dan kebutuhan tersier (tahsiniyah). Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat
untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata hitam putih, sebagaimana cara
pandang fiqih yang lazim kita temukan, tetapi fiqih sosial lebih menempatkan
fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara sosial
5. Fiqh tradisi
Agama dan
tradisi bagaikan dua sisi dalam kepingin logam. Dua hal ini yang bisa bertolak
belakang, tetapi tak dapat dipisahkan. Fiqh Tradisi inilah yang menjawab mana
yang sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang bertentangan.
6. Fiqh plurarisme
Kerangka pijak dari fiqih lintas agama adalah
teologi pluralis sesungguhnya tidak terlalu tepat. Teologi pluralis yang
menghendaki pemahaman bahwa semua agama sama adalah lebih karena ajaran semua
agama adalah kepasrahan pada Tuhan. Misalnya, jika Islam dalam konteks
pluralitas, maka pemahamannya menjadi agama kemanusiaan dan agama fitrah.
Kepatuhan terhadap Tuhan yang bersifat vertikal itu harus diturunkan menjadi
kesalihan sosial melalui perilaku dalam kehidupan. Dari situ, jelas dan ada
alasan untuk merumuskan teologi pluralis karena memang terdapat titik temu di
antara beberapa agama, yaitu ajaran untuk patuh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
7. Fiqh politik (siyasah)
Al-siyasah sendiri
berasal dari kata
ساس
يسوس سياسه
Mengatur,
mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan.
Sedangkan
secara istilah, siyasah adalah kemashlahatan untuk manusia dengan
menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di
akhirat. Siyasah berasal daripada Nabi, baik secara khusus maupun secara umum,
baik secara lahir maupun batin. Segi lahir siyasah berasal dari para pemegang
kekuasaan(para sultan dan raja) bukan dari ulama, sedangakan secara batin
siyasah berasal dari ulama pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan.[2]
B. Merevitalisasi turats.
Turats
adalah sebutan untuk kitab-kitab yang berbahasa Arab yang ditulis diatas kertas
berwarna kuning. Istilah ini adalah asli Indonesia, khususnya jawa, sebagai
salah satu identitas tradisi pesantren dan untuk membedakan kitab lainnya yang
ditulis diatas kertas putih. Term ‘Turats’ mengandung pengertian budaya, yaitu
pengagungannya terhadap kitab-kitab warisan terdahulu sebagai ajaran suci dan
bulat (final). Karena anggapan kefinalan tersebut sehingga tidak dilakukan
semacam kajian metodologis atau studi kritis. Kitab-kitab tersebut tidak boleh
dilakukan penambahan-penambahan kecuali hanya diperjelas dan dirumuskan
kembali. Meskipun pada akhir-akhir ini terdapat karya-karya baru namun tidak
merubah substansinya. Sakralisasi terhadap turats ini pada akhirnya meningkat
menjadi semacam pembakuan sebagai referensi standar yang otoritatif atau yang
dikenal dengan al-kutub al-mu’tabaroh.[3]
Turats memiliki 3 ciri pokok, yaitu : al-manqul ilaina(sesuatu yang kita
warisi), al-mafhum lana(sesuatu yang kita pahami), dan al-muwajjih
lisulukina(sesuatu yang mengarahkan perilaku kita).[4]
Sedangkan
dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan
perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya.
Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk
menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
Fiqih
adalah dinamis, dan dipastikan akan mengalami perkembangan. Tidak mungkin hukum
Islam tersebut itu stagnan atau bisa disebut dengan kata lain hukum Islam
adalah tidak bisa dikembangkan atau mutlak. Hukum syara’ atau yang disebut
kitab Allah itu di kemas dan di formulasikan sedemikian rupa oleh para mujtahid
pada masa lalu khususnya para mujtahid mutlak ( yakni 4 imam madzhab). Hasil
formulasi ijtihad tersebut secara sederhana disebut dengan fiqih. Dari beberapa
hasil ijtihad para fuqaha tersebut, yang jelas mengalami perubahan dan
perkembangan. Karena problematika umat pada kurun waktu dan pada zaman tertentu
akan semakin kompleks.[5]
Fiqih merupakan buah karya para
mujtahid. Semangat para fuqaha dalam menggali hukum serta menjawab tantangan
zaman pada masa tersebut. Semangat itulah yang seharusnya menjadi dasar kembali
untuk menghidupkan masa keemasan Islam. Sebagai contoh kongkrit ulama kita
terdahulu meninggalkan karya berharga berupa buku-buku yang telah membangun
peradaban dunia. Peradaban Islam yang pernah membentang dari Baghdad ke Persia,
dari Andalusia (Spanyol) ke India bahkan
sampai Indonesia. Buku Hadharat al-`Iraq, 13 Jilid (Baghdad, 1985) yang ditulis oleh sekian pakar
sejarah dan peneliti Iraq sendiri. Mengenai peradaban Islam di Andalusia, jejak-rekamnya dapat
dilacak dalam karya Muhammad Abdullah `Annan, Dawalat
al-Islam fi al-Andalus `Ashar al-Muwahhidin (Mesir: al-Hay’ah al-Mishriyyah
al-`Ammah li al-Kitab, 2002). Dan lain sebagainya.
Kalau kita cermati lebih
mendalam, bagaimana semangat para ulama terdahulu dalam dunia tulis menulis
sehingga mewariskan manuskrip-manuskrip untuk pedoman dasar kehidupan ummat
Islam. Semangat menggali hukum itulah yang seharusnya kita gelorakan kembali
sebagai pewaris keilmuan ulama dahulu.
Meskipun dasarnya adalah turats fiqih klasik, namun cakupannya menembus dinding
peradaban dan wacana pemikiran masa kini. Namun tidak melanggar rambu-rambu
yang sudah jelas dan tegas. Sehingga, suatu saat akan lahir konsep pemikiran
yang didasarkan pada konsep fiqih, seperti: fiqih lingkungan hidup, fiqih
pemikiran, fiqih peradaban, fiqih kesadaran umat, dan fiqih-fiqih lain bukan
hanya fiqih yang berorientasikan pada ibadah saja.
Dan model ini, dalam
bentuk karya individual, sudah banyak yang memulai. Sebut saja Fiqh al-Muwajahah (Fiqih Konfrontasi) yang ditulis oleh Dr.
Muhammad Imarah (Mesir). Juga Fiqh al-Hadharah (Fiqih Peradaban) yang juga ditulis oleh beliau.
Ada juga Fiqh
al-Awlawiyyat karya
Dr. Yusuf al-Qaradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. II, 1416 H/1996 M).
Disamping Fiqh
al-Awlawiyyah yang
ditulis oleh Muhammad al-Wakil (Herndon-Virginia: al-Ma`had al-`Alami li
al-Fikr al-Islami, cet. I,
1416 H/1997 M).
Dengan demikian, umat akan
maju ke depan dengan mengambil start dari khazanah klasik (turats) yang mereka
miliki. Dan pada gilirannya, akan lahir semacam “harmonitas umat dan turats”
yang mengubah keadaan kepada yang lebih baik: dari kejahilan akan peradaban menuju
kematangan berpikir dan kegemilangan peradaban.[6]
Demikianlah
adanya kodifikasi turats yang saat ini kita bincangkan sebagai langkah
kesadaran akan pentingnya revitalisasi turats di era modern. Kita tidak bisa
menafikan sumber awal para pendahulu kita tentang kontribusinya dalam
pembentukan disiplin-disiplin ilmu Islam. Maka selayaknya kita tetap memandang
penting pondasi dan kaidah keilmuan kita pada ulama zaman dahulu, tentunya
tetap menerapkan kaidah: al-almuhafadzatu alal qadîmi al-shalih, wa al-akhdzu
bil jadîd al-ashlah.
C. Mendesain fiqih Indonesia
Pada
awal Islam masuk ke Indonesia para ulama’ menganggap bahwa hukum Islam yang
dipahami ternyata perlu diaktualisasi dan di kontekstualisasi sesuai dengan
keadaan masyarakat. Karena tidak mungkin hukum Islam ini akan di pahami
terlebih untuk diterapkan oleh pemeluknnya kalau hukum tersebut tidak membumi,
mana mungkin akan diterima oleh masyarakat? Sebagai contoh walisongo dalam
dakwahnya ada yang menggunakan seni wayang dan musik.
Dari
fakta tersebut para ulama’ pada zaman dahulu berinisiatif untuk reaktualisasi
hukum – hukum Islam dengan mengkaji kembali fiqih –fiqih para mujtahid mutlak
(Imam Madzhab) kemudian ditransformasikan kesemua lini kehidupan.
Sehingga problematika umat yang kontemporer atau masalah –masalah hukum
kekinian akan terjawab.
Amalan –amalan ibadah yang di terapkan oleh muslim
Indonesia hampir semuanya memang menganut madzhab syafi’I contoh pada ibadah
Sholat, mulai dari sebelum sholat, cara berwudlu kemudian hal –hal yang membatalkan
wudlu sampai pada bacaan dan gerakan sholatpun sama dengan yang diajarkan atau
menurut faham fiqihnya Imam Syafi’i. Sehingga memang rujukan fiqih di Indonesia
pada dua dekade terakhir ini menganut paham Imam Syafii.[7]
Pada
masa berikutnya terjadi perkembangan pemikiran fiqih di Indonesia. Perkembangan
ini semakin jelas setelah ulama’-ulama’ Islam kembali dari timur tengah dan setelah
pemahaman mereka akan fiqih semakin mendalam pada awal-awal abad 20. Para ulama
yang telah mengenyam pendidikan di timur tengah kebanyakan akan terbuka
terhadap pemikiran –pemikiran diluar Imam Syafi’I, karena mereka telah kaya
dengan pengalaman dan ilmu yang telah di peroleh dari perguruan timur tengah.
Sehingga dari perkembangan pemikiran –pemikiran tentang memahami fiqih akan
terjadi pula perbedaan- perbedaan pendapat antar golongan. Yang tadinya dapat
dipastikan semua menganut paham Syafi’iyah sekarang akan berbeda.
Para ulama pada umumnya enggan untuk
mengkaji ulang dari hasil –hasil pemikiran mujtahid lama yang berkenaan dengan
masalah ibadat, karena beliau berpendapat hasil ijtiad tersebut merupakan
standar yang tidak perlu berubah. Lain halnya masalah-masalah yang terdapat di
luar ibadat. Mereka beranggapan bahwa masalah-masalah diluar ibadat ini sangat
luas untuk dikaji dan kemungkinan dapat berubah sesuai dengan konteks dan
kondisi yang ada.
Fiqih kekinian atau masalah - masalah
fikih kontemporer yang belum dijelaskan secara rinci dalam al-Quran, as-Sunah,
dan dari ijtihadnya para fuqaha mutlak maka perlu adanya sebuah kajian yang
dilakukan secara kolektif. Berawal dari sini, perlu adanya sebuah wahana untuk
mengkaji persoalan-persoalan tersebut. Banyak muncul, diskusi untuk memperoleh
jawaban sebagai contoh Bahtsul masail, yang dilakukan oleh kaum
nahdliyin. Sehingga dari majlis ini akan terjadi reaktualisasi fiqih –fiqih
dahulu kemudian dikontekskan pada keadaan sekarang, dan tidak meninggalkan pada
al-Quran dan as-Sunah sebagai rujukannya sehingga akan terwujud suatu
kemaslahatan.[8]
IV. Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas mungkin
dapat kita simpulkan bahwa hukum islam itu adalah dinamis dan pasti akan
mengalami pembaharuan. Dan juga dapat disimpu;lkan bahwa : pemikiran
fiqih dikalangan para ulama’ Indonesia cukup berkembang sejalan dengan
perkembangan pemikiran fiqih dikalangan ulama Islam lainnya, Terhadap kejadian
yang baru muncul dalam kehidupan sosial umat Islam,ulama’ Indonesia cukup
tanggap dalam menghadapinya dan selalu memberikan jawaban fiqih dengan
berpedoman dengan pertimbangan maslahat dan mudharat.
V.
Penutup
Demikianlah pembahasan makalah
sekelumit tentang Pembaharuan
Fiqih. Saya sebagai pemakalah,
menyadari bahwa makalah yang saya sampaikan
sangat jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, perkenankanlah saya, meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki
makalah saya
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca.
Dan akhir kata, pemakalah mohon
maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa sistematika penyusunan,
maupun isi serta penyampaian makalah ini.
[1] Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA, Fiqh Minoritas ; Fiqh Al-Aqalliyyât dan
Evolusi Maqâshid al-Syarî‘ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta : LKiS
Yogyakarta, 2010), hlm. 20
[3] Abdul Mughits, Kritik Nalar
Fiqh Pesantren, (Jakarta :Kencana, 2008), hlm. 150
[4] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh
dan Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm.185-186
[5] Dr. Jaih Mubarok, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda karya,2000)
[7] Abdul Mughits, Kritik Nalar
Fiqh Pesantren, (Jakarta :Kencana, 2008), hlm. 140
[8] Noor Ahmad, Epistemologi Syara’, (Yogyakarta
: walisongo Expres, 2009), hlm.76-77
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Noor. 2009. Epistemologi Syara’. Yogyakarta
: walisongo Expres.
Anwar,
Syahrul. 2010. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Bogor : Ghalia Indonesia.
Djazuli,
A. 2009. Fiqh Siyasah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Mawardi, Dr. Ahmad
Imam, MA. 2010. Fiqh Minoritas ; Fiqh Al-Aqalliyyât dan Evolusi Maqâshid
al-Syarî‘ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.
Mubarok, Dr. Jaih.
2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung : Remaja Rosda
karya.
Mughits,
Abdul. 2008. Kritik Nalar Fiqh Pesantren. Jakarta : Kencana.