Rabu, 16 Oktober 2013

Makalah Fiqh, Pembaharuan Fiqh; Revitalisasi Turats

SPEMBAHARUAN FIQIH
REVITALISASI TURAT



MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih
Dosen Pengampu : H. Fakhrudin Aziz, Lc., PgD., M.SI.




DisusunOleh :

Muhammad Daris Fithon                    123211055

  

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

     I.     Pendahuluan
Bila ada kata yang saat ini sedang hangat diperbincangkan maka salah satunya adalah Pembaharuan, atau tajdid bahasa Arabnya. Pembaharuan memiliki arti yang sifatnya tidak mutlak dapat berkonotasi positif, dapat pula berkonotasi negatif. Bisa berupa pembaharuan yang dipuji dan diserukan oleh Allah s.w.t dalam firman-Nya, namun bisa juga pembaruan yang justru dicela, ditolak dan dilarang oleh ajaran Islam. Oleh karena itu perlu memahami pembaharuan mana yang harus dilakukan dan mana yang perlu ditinggalkan bahkan ditolak. Apabila pembaharuan dimaksudkan sebagai pemurnian ajaran Islam dari selundupan ajaran-ajaran jahiliyah serta berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan ajaran Islam tersebut, pembaharuan semacam ini tentu pembaharuan yang dipuji oleh Allah s.w.t. Demikian pula, tidaklah dilarang pembaharuan yang membuka pintu ijtihad bagi mereka yang memang memiliki kemampuan dan keahlian dalam berijtihad, mempersiapkan dan mendidik orang-orang agar mampu berijtihad serta menggali hukum-hukum syara untuk menjawab problematika kehidupan yang terus menerus bermunculan. Peranan pembaharuan adalah ketika manusia memahami apa yang ada didalam pedoman tersebut secara tekstual, sehingga akan tampak jika pedoman tersebut tidak lagi relevan jika digunakan sebagai pedoman untuk konteks kekinian. Dari sini muncul pertanyaan yang harus dijawab, apakah kita diperbolehkan untuk memahami pedoman tersebut secara kontekstual yang berarti mebaharui pemikiran yang telah ada sebelumnya.
Dalam hal ini kami akan membahas tentang pembaharuan fiqih. Karena hukum Islam adalah dinamis, dan dipastikan akan mengalami perkembangan.

  II.     Rumusan Masalah
A.  Bagaimana sebenarnya dinamika persoalan keumatan?
B.  Perlukah merevitalisasi turats?
C.   Mungkinkah mendesain fiqih Indonesia?
III.     Pembahasan
A.  Dinamika persoalan keumatan.
Dinamika persoalan keumatan belum terlalu sering dikaji oleh para fuqaha, karenanya masih sering terdapat perselisihan antaranya. Dinamika ini mecakup beberapa cabang fiqh, diantaranya :
1.    Fiqh minoritas
Fiqh Minoritas (fiqh al-aqalliyât) sebenarnya bukanlah suatu bentuk fiqh yang seratus persen baru dan terpisah dari fiqh tradisional. Fiqh minoritas hanyalah salah satu cabang dari disiplin ilmu fiqh yang luas dalam Islam (fiqh makro). Ia merujuk pada sumber yang sama, yaitu al-Qur'ân, sunnah, ijmâ', dan qiyâs. Ia juga menggunakan metodologi ushûl fiqh yang sama dengan fiqh lainnya.
Namun demikian, fiqh minoritas ini perlu dibedakan dari fiqh yang lainnya, karena ia mempunyai sifat khusus yang disebabkan oleh realitas khusus, dan didesain untuk kepentingan kemaslahatan kaum minoritas muslim di negara-negara Barat, utamanya di Amerika dan Inggris.[1]

2.    Fiqh prioritas
Umat Islam mempunyai potensi yang sangat besar dan memadai dari segi sumber daya alam, manusia, ekonomi, pemikiran, budaya, politik, moral maupun fisik. Namun dalam penempatannya masih sering terjadi disalokasi potensi. Hal ini disebabkan poleh tidaknya pemahaman mengenai prioritas amal perbuatan. Inilah pentingnya pemahaman tentang fiqh Prioritas seperti yang digagas oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi.
3.    Fiqh gender
Fiqih ini membahas kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan pada tahun 1984, para aktifis gender menargetkan agar keadilan dan kesetaraan gender benar-benar terimplementasikan di Indonesia belum sepenuhnya tercapai.

4.    Fiqh social
Secara singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqih sosial didasarkan atas keyakinan bahwa fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah), kebutuhan sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah). Fiqih sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata hitam putih, sebagaimana cara pandang fiqih yang lazim kita temukan, tetapi fiqih sosial lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara sosial

5.    Fiqh tradisi
Agama dan tradisi bagaikan dua sisi dalam kepingin logam. Dua hal ini yang bisa bertolak belakang, tetapi tak dapat dipisahkan. Fiqh Tradisi inilah yang menjawab mana yang sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang bertentangan.

6.    Fiqh plurarisme
Kerangka pijak dari fiqih lintas agama adalah teologi pluralis sesungguhnya tidak terlalu tepat. Teologi pluralis yang menghendaki pemahaman bahwa semua agama sama adalah lebih karena ajaran semua agama adalah kepasrahan pada Tuhan. Misalnya, jika Islam dalam konteks pluralitas, maka pemahamannya menjadi agama kemanusiaan dan agama fitrah. Kepatuhan terhadap Tuhan yang bersifat vertikal itu harus diturunkan menjadi kesalihan sosial melalui perilaku dalam kehidupan. Dari situ, jelas dan ada alasan untuk merumuskan teologi pluralis karena memang terdapat titik temu di antara beberapa agama, yaitu ajaran untuk patuh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
7.    Fiqh politik (siyasah)
Al-siyasah sendiri berasal dari kata
ساس يسوس سياسه
Mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan.
Sedangkan secara istilah, siyasah adalah kemashlahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyasah berasal daripada Nabi, baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir maupun batin. Segi lahir siyasah berasal dari para pemegang kekuasaan(para sultan dan raja) bukan dari ulama, sedangakan secara batin siyasah berasal dari ulama pewaris Nabi bukan dari pemegang kekuasaan.[2]

B.  Merevitalisasi turats.
Turats adalah sebutan untuk kitab-kitab yang berbahasa Arab yang ditulis diatas kertas berwarna kuning. Istilah ini adalah asli Indonesia, khususnya jawa, sebagai salah satu identitas tradisi pesantren dan untuk membedakan kitab lainnya yang ditulis diatas kertas putih. Term ‘Turats’ mengandung pengertian budaya, yaitu pengagungannya terhadap kitab-kitab warisan terdahulu sebagai ajaran suci dan bulat (final). Karena anggapan kefinalan tersebut sehingga tidak dilakukan semacam kajian metodologis atau studi kritis. Kitab-kitab tersebut tidak boleh dilakukan penambahan-penambahan kecuali hanya diperjelas dan dirumuskan kembali. Meskipun pada akhir-akhir ini terdapat karya-karya baru namun tidak merubah substansinya. Sakralisasi terhadap turats ini pada akhirnya meningkat menjadi semacam pembakuan sebagai referensi standar yang otoritatif atau yang dikenal dengan al-kutub al-mu’tabaroh.[3] Turats memiliki 3 ciri pokok, yaitu : al-manqul ilaina(sesuatu yang kita warisi), al-mafhum lana(sesuatu yang kita pahami), dan al-muwajjih lisulukina(sesuatu yang mengarahkan perilaku kita).[4]
Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha-usaha untuk menjadikan sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.
                                Fiqih adalah dinamis, dan dipastikan akan mengalami perkembangan. Tidak mungkin hukum Islam tersebut itu stagnan atau bisa disebut dengan kata lain hukum Islam adalah tidak bisa dikembangkan atau mutlak. Hukum syara’ atau yang disebut kitab Allah itu di kemas dan di formulasikan sedemikian rupa oleh para mujtahid pada masa lalu khususnya para mujtahid mutlak ( yakni 4 imam madzhab). Hasil formulasi ijtihad tersebut secara sederhana disebut dengan fiqih. Dari beberapa hasil ijtihad para fuqaha tersebut, yang jelas mengalami perubahan dan perkembangan. Karena problematika umat pada kurun waktu dan pada zaman tertentu akan semakin kompleks.[5]
Fiqih merupakan buah karya para mujtahid. Semangat para fuqaha dalam menggali hukum serta menjawab tantangan zaman pada masa tersebut. Semangat itulah yang seharusnya menjadi dasar kembali untuk menghidupkan masa keemasan Islam. Sebagai contoh kongkrit ulama kita terdahulu meninggalkan karya berharga berupa buku-buku yang telah membangun peradaban dunia. Peradaban Islam yang pernah membentang dari Baghdad ke Persia, dari Andalusia (Spanyol) ke India bahkan sampai Indonesia. Buku Hadharat al-`Iraq, 13 Jilid (Baghdad, 1985) yang ditulis oleh sekian pakar sejarah dan peneliti Iraq sendiri. Mengenai peradaban Islam di Andalusia, jejak-rekamnya dapat dilacak dalam karya Muhammad Abdullah `Annan, Dawalat al-Islam fi al-Andalus `Ashar al-Muwahhidin (Mesir: al-Hay’ah al-Mishriyyah al-`Ammah li al-Kitab, 2002). Dan lain sebagainya.
Kalau kita cermati lebih mendalam, bagaimana semangat para ulama terdahulu dalam dunia tulis menulis sehingga mewariskan manuskrip-manuskrip untuk pedoman dasar kehidupan ummat Islam. Semangat menggali hukum itulah yang seharusnya kita gelorakan kembali sebagai pewaris keilmuan ulama dahulu.
Meskipun dasarnya adalah turats fiqih klasik, namun cakupannya menembus dinding peradaban dan wacana pemikiran masa kini. Namun tidak melanggar rambu-rambu yang sudah jelas dan tegas. Sehingga, suatu saat akan lahir konsep pemikiran yang didasarkan pada konsep fiqih, seperti: fiqih lingkungan hidup, fiqih pemikiran, fiqih peradaban, fiqih kesadaran umat, dan fiqih-fiqih lain bukan hanya fiqih yang berorientasikan pada ibadah saja.
Dan model ini, dalam bentuk karya individual, sudah banyak yang memulai. Sebut saja Fiqh al-Muwajahah (Fiqih Konfrontasi) yang ditulis oleh Dr. Muhammad Imarah (Mesir). Juga Fiqh al-Hadharah (Fiqih Peradaban) yang juga ditulis oleh beliau. Ada juga Fiqh al-Awlawiyyat karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi (Kairo: Maktabah Wahbah, cet. II, 1416 H/1996 M). Disamping Fiqh al-Awlawiyyah yang ditulis oleh Muhammad al-Wakil (Herndon-Virginia: al-Ma`had al-`Alami li al-Fikr al-Islami, cet. I, 1416 H/1997 M).
Dengan demikian, umat akan maju ke depan dengan mengambil start dari khazanah klasik (turats) yang mereka miliki. Dan pada gilirannya, akan lahir semacam “harmonitas umat dan turats” yang mengubah keadaan kepada yang lebih baik: dari kejahilan akan peradaban menuju kematangan berpikir dan kegemilangan peradaban.[6]
                        Demikianlah adanya kodifikasi turats yang saat ini kita bincangkan sebagai langkah kesadaran akan pentingnya revitalisasi turats di era modern. Kita tidak bisa menafikan sumber awal para pendahulu kita tentang kontribusinya dalam pembentukan disiplin-disiplin ilmu Islam. Maka selayaknya kita tetap memandang penting pondasi dan kaidah keilmuan kita pada ulama zaman dahulu, tentunya tetap menerapkan kaidah: al-almuhafadzatu alal qadîmi al-shalih, wa al-akhdzu bil jadîd al-ashlah.




C.  Mendesain fiqih Indonesia
Pada awal Islam masuk ke Indonesia para ulama’ menganggap bahwa hukum Islam yang dipahami ternyata perlu diaktualisasi dan di kontekstualisasi sesuai dengan keadaan masyarakat. Karena tidak mungkin hukum Islam ini akan di pahami terlebih untuk diterapkan oleh pemeluknnya kalau hukum tersebut tidak membumi, mana mungkin akan diterima oleh masyarakat? Sebagai contoh walisongo dalam dakwahnya ada yang menggunakan seni wayang dan musik.
Dari fakta tersebut para ulama’ pada zaman dahulu berinisiatif untuk reaktualisasi hukum – hukum Islam dengan mengkaji kembali fiqih –fiqih para mujtahid mutlak (Imam  Madzhab) kemudian ditransformasikan kesemua lini kehidupan. Sehingga problematika umat yang kontemporer atau masalah –masalah hukum kekinian akan terjawab.
Amalan –amalan ibadah yang di terapkan oleh muslim Indonesia hampir semuanya memang menganut madzhab syafi’I contoh pada ibadah Sholat, mulai dari sebelum sholat, cara berwudlu kemudian hal –hal yang membatalkan wudlu sampai pada bacaan dan gerakan sholatpun sama dengan yang diajarkan atau menurut faham fiqihnya Imam Syafi’i. Sehingga memang rujukan fiqih di Indonesia pada dua dekade terakhir ini menganut paham Imam Syafii.[7]                                
Pada masa berikutnya terjadi perkembangan pemikiran fiqih di Indonesia. Perkembangan ini semakin jelas setelah ulama’-ulama’ Islam kembali dari timur tengah dan setelah pemahaman mereka akan fiqih semakin mendalam pada awal-awal abad 20. Para ulama yang telah mengenyam pendidikan di timur tengah kebanyakan akan terbuka terhadap pemikiran –pemikiran diluar Imam Syafi’I, karena mereka telah kaya dengan pengalaman dan ilmu yang telah di peroleh dari perguruan timur tengah. Sehingga dari perkembangan pemikiran –pemikiran tentang memahami fiqih akan terjadi pula perbedaan- perbedaan pendapat antar golongan. Yang tadinya dapat dipastikan semua menganut paham Syafi’iyah sekarang akan berbeda. 
Para ulama pada umumnya enggan untuk mengkaji ulang dari hasil –hasil pemikiran mujtahid lama yang berkenaan dengan masalah ibadat, karena beliau berpendapat hasil ijtiad tersebut merupakan standar yang tidak perlu berubah. Lain halnya masalah-masalah yang terdapat di luar ibadat. Mereka beranggapan bahwa masalah-masalah diluar ibadat ini sangat luas untuk dikaji dan kemungkinan dapat berubah sesuai dengan konteks dan kondisi yang ada.
Fiqih kekinian atau masalah - masalah fikih kontemporer yang belum dijelaskan secara rinci dalam al-Quran, as-Sunah, dan dari ijtihadnya para fuqaha mutlak maka perlu adanya sebuah kajian yang dilakukan secara kolektif. Berawal dari sini, perlu adanya sebuah wahana untuk mengkaji persoalan-persoalan tersebut. Banyak muncul, diskusi untuk memperoleh jawaban sebagai contoh Bahtsul masail, yang dilakukan oleh kaum nahdliyin. Sehingga dari majlis ini akan terjadi reaktualisasi fiqih –fiqih dahulu kemudian dikontekskan pada keadaan sekarang, dan tidak meninggalkan pada al-Quran dan as-Sunah sebagai rujukannya sehingga akan terwujud suatu kemaslahatan.[8]
                               
IV.     Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas mungkin dapat kita simpulkan bahwa hukum islam itu adalah dinamis dan pasti akan mengalami pembaharuan. Dan juga dapat disimpu;lkan bahwa :  pemikiran fiqih dikalangan para ulama’ Indonesia cukup berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran fiqih dikalangan ulama Islam lainnya, Terhadap kejadian yang baru muncul dalam kehidupan sosial umat Islam,ulama’ Indonesia cukup tanggap dalam menghadapinya dan selalu memberikan jawaban fiqih dengan berpedoman dengan pertimbangan maslahat dan mudharat.

  V.     Penutup
Demikianlah pembahasan makalah sekelumit tentang Pembaharuan Fiqih. Saya sebagai pemakalah, menyadari bahwa makalah yang saya sampaikan  sangat jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, perkenankanlah saya, meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah saya selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca. 
Dan akhir kata, pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa sistematika penyusunan, maupun isi serta penyampaian makalah ini.


[1] Dr. Ahmad Imam Mawardi, MA, Fiqh Minoritas ; Fiqh Al-Aqalliyyât dan Evolusi Maqâshid al-Syarî‘ah dari Konsep ke Pendekatan, (Yogyakarta : LKiS Yogyakarta, 2010), hlm. 20
[2] A. Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 25-27
[3] Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta :Kencana, 2008), hlm. 150
[4] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hlm.185-186
[5] Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung : Remaja Rosda karya,2000)
[7] Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, (Jakarta :Kencana, 2008), hlm. 140
[8] Noor  Ahmad, Epistemologi Syara’, (Yogyakarta : walisongo Expres, 2009), hlm.76-77



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Noor.  2009. Epistemologi Syara’. Yogyakarta : walisongo Expres.
Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Bogor : Ghalia Indonesia.
Djazuli, A. 2009. Fiqh Siyasah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Mawardi, Dr. Ahmad Imam, MA. 2010. Fiqh Minoritas ; Fiqh Al-Aqalliyyât dan Evolusi Maqâshid al-Syarî‘ah dari Konsep ke Pendekatan. Yogyakarta : LKiS Yogyakarta.
Mubarok, Dr. Jaih. 2000. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung : Remaja Rosda karya.
Mughits, Abdul. 2008. Kritik Nalar Fiqh Pesantren. Jakarta : Kencana.

Makalah Tasawuf, Ahwal fi Tasawuf

Al-Ahwal fi Tasawuf




MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlaq Tasawuf
Dosen Pengampu : H. Abdul Khaliq, M.Ag.



DisusunOleh :

Moh. Latif Marzuqi                            123211052
Mufidin                                               123211053
Muhamad Aniq                                   123211054
Muhammad Daris Fithon                    123211055


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

     I.     Pendahuluan
Masalah pembangunan manusia seutuhnya bukanlah suatu pekerjaan sambilan, bukan pula masalah pendidikan dan pengajaran semata, melainkan juga menyangkut lingkungan hidup dan akan berjalan sepanjang hidupnya. Karenanya pembinaan manusia seutuhnya tidak bisa mengeyampingkan faktor-faktor agama, sebab bagaimanapun agama merupakan bangunan bawah dari moral suatu bangsa.
Unuk itulah, tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu agama, mengajarkan manusia dengan segala tingkah lakunya menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya kepada Sang Pencipta. Dan makalah ini akan membahas sekelumit hubungan anatara hamba dengan Sang Khaliq.
 
  II.     Rumusan Masalah
A.  Apa pengertian dari Ahwal Fi Tasawuf  ?
B.  Bagaimana perbedaan antara ahwal dengan maqamat ?
C.  Apa saja bagian dari Ahwal fi Tasawuf ?

III.     Pembahasan
A.  Pengertian dari Ahwal Fi Tasawuf
Dikalangan sufi, al-ahwal merupakan jamak dari al-hal yang dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai karunia Allah Swt, bukan dari hasil usahanya.
Menurut al-Qusyairi, al-hal selalu bergerak naik setahap demi tahap sampai ke tingkat puncak kesempurnaan rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak dan selalu beralih berganti itulah disebut al-hal.[1]

B.  Perbedaan antara Ahwal dengan maqamat
Sebelum mengulas lebih jauh mengenai ahwal, mari kita menelaah perbedaan antara Ahwal dengan maqamat. Bahwasanya maqamat adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup yang hasilnya dapat dilihat dari perilaku seorang, sedangkan al-hal bersifat abstrak yang tidak bisa dipandang oleh mata, hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilkinya.
Apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut al-hal itu, sebenarnya manifestasi dari maqamat yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa orang yang pantas menerima karunia al-hal hanyalah orang yang berusaha meningkatkan kualitas ibadah melalui latihan dan amalan yang sufi lakukan.[2]

C.  Bagian dari Ahwal fi Tasawuf
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan sufi mengenai bagian al-hal, diantara sekian banyak nama dan sifat al-hal, yang terpenting serta yang paling banyak penganutnya adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Berikut bagian dari ahwal fi tasawuf : [3]
1)   Al-Muraqabah
Yang menurut orang sufi mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dan diawasi oleh Allah. Sikap mental muraqabah ini adalah salah satu sikap yang selalu memandang Allah dengan mata hatinya atau vision of heart. Sebaliknya iapun sadar, bahwa Allah juga selalu memandang kepadanya penuh perhatian. Orang yang memperoleh sikap mental muraqabah ini sudah pasti akan selalu berusaha menata dan membina kesucian diri dan amalnya. [4]
Kondisi ini sebagaimana termasuk untaian mutiara Nabi Muhammad Saw, sabda beliau Saw :
اُعْبُدِ اللهَ تعالى كَاَنَكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَهُ يَرَاكَ
“Sembahlah Allah Swt, seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Dia melihatmu”
Muraqabah, mengontrol diri untuk selalu mengingat kepada Yang Menciptakan dan melawan nafsu. Jika nafsu itu teman yang berkhianat, maka tidak ada lagi alasan untuk membiarkannya walaupun sekejap agar tidak berkhianat. [5]

2)   Al-Khauf
Khauf menurut orang sufi, berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.[6]
Sifat khauf ini merupakan usaha untuk selalu dekat kepada Allah dengan Sikap mental ini merangsang seseorang melakukan hal-hal yang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat.
Sabda Nabi Saw :
مَنْ خَافَ مِنَ اللهِ خَافَهُ كُلُ شَيْئٍ وَ مْن خَافَ غَيْرَ اللهِ خَوَفَهُ اللهِ مِنْ كُلِ شَيْئٍ
“Barangsiapa yang takut kepada  Allah, maka segala sesuatu akan takut kepadanya. Dan barangsiapa yang takut kepada selain Allah, maka ia akan takut kepada segala sesuatu”
Bahkan dilain hadits, Nabi saw menegaskan rahasia orang yang takut pada Allah. Diriwayatkan dari Sayyidatuna Aisyah r.a, suatu ketika Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah Saw : “Ya Rasulallah, apakah seseorang dari ummat-mu yang akan masuk surga tanpa dihisab? Rasulullah Saw, bersabda : Ya ada, mereka orang yang ingat dosanya dan takut pada Allah lalu menangis kepada-Nya”  
Diriwayatkan dari Abu Darda’, : bahwa detak jantung Nabi Ibrahim Khalilullah pada saat melakukan shalat dapat didengar dari jarak satu mil karena beliau sangat takut pada Tuhan-nya Allah Swt.[7]

3)   Ar-Raja’
Ketahuilah, bahwasanya raja’  termasuk maqam para pesuluk dan ahwal (pngalaman ruhani) para thalibin. Raja’(harapan) berbeda dengan tamanni (angan-angan).  Raja merupakan harapan yang menyenangkan hati. Harapan itu merupakan kepuasan hati yang terhadap penantian sesuatu yang disukai, namun yang disukai itu harus memiliki sebab. Sedangkan tamanni merupakan penantian dengan kehilangan sebab-sebab (angan-angan).[8]
Diantara yang dapat menguatkan sebab raja’ (harapan) adalah termaktub dalam firman Allah dan mutiara sabda Nabi Muhammad.  
ö@è% yÏŠ$t7Ïè»tƒ tûïÏ%©!$# (#qèùuŽó r& #n?tã öNÎgÅ¡àÿRr& Ÿw (#qäÜuZø)s? `ÏB ÏpuH÷q§ «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ãÏÿøótƒ z>qçR%!$# $·èÏHsd 4 ¼çm¯RÎ) uqèd âqàÿtóø9$# ãLìÏm§9$# ÇÎÌÈ    
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosasemuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar : 53)

Ada sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah Saw datang kepada seseorang yang sedang sakaratil maut. Beliau bertanya, : “Bagaimana engkau mendapati dirimu?”. Orang itu menjawab, “Aku mendapati diriku dalam keadaan takut pada dosa-dosanya dan berharap pada rahmat Tuhanku”. Maka Rasulullah Saw, bersabda : “Keduanya tidak berkumpul pada kalbu seorang hamba ditempat ini kecuali Allah Swt, memberinya apa yang ia harapkan dan menyelamatkannya dari yang ditakutinya”. [9]

4)   Al-Mahabbah
Makna cinta (Mahabbah), adalah kecenderungan jiwa padanya karena keberadaannya sebagai suatu kelezatan pada dirinya. Berbeda dengan kebencian, ketidak sukaan jiwa karena keberadaannya sebagai sesuatu yang tidak cocok bagi dirinya.  Setiap yang bertambah kelezatannya, menambah kecintaannya. Maka kelezatan mata dalam melihat, kelezatan telinga dalam mendengar, dan kelezatan penciuman dalam mencium bau yang harum. Demikian pula, setiap indra memiliki kesesuaian yang menjadikannya kelezatan. Maka karenanya ia menyukainya.
Dengan demikian, bahwa pengihatan batin lebih kuat dibanding penglihatan lahir. Hati lebih tajam pandangannya dibanding mata. Sudah pasti, kelezatan hati diperoleh dari perkara-perkara Ilahi yang mulia dari pada yang diperoleh indra yang sempurna.[10]

5)   As-Syauq
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu (yearning) yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh menjadi rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu bersama dia. Setiap denyutan jantung, detak kalbu dan desah nafas, ingatan hanya kepada sang kekasih (Allah), itulah rindu. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi agar selalu berada sedekat mungkin pada Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan setiap sufi.[11] Rindu memang tidak bisa dibayangkan kecuali oleh yang memiliki rasa cinta itu.
Jika cinta telah teguh, maka benarlah kerinduan kepada kekasih. Hal itu ditunjukkan dalam sebuah keterangan :
Diriwiyatkan bahwa Abu Darda’ berkata kepada Ka’ab, “Kabarkanlah kepadaku mengenai ayat paling khusus dalam Taurat.” Maka Ka’ab berkata, “Allah Azza wa Jalla berfirman, Lamalah kerinduan orang-orang yang baik untuk bertemu dengan-Ku. Dan kerinduan-Ku untuk bertemu dengan mereka lebih besar lagi. Barangsiapa yang mencari-Ku, maka ia akan mendapati-Ku. Dan barangsiapa mencari selain-Ku, maka ia tidak akan mendapati-Ku.” Maka Abu Darda’ berkata , “Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Saw, mengatakan ini.”[12]
Bahkan dalam sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Hakim, menerangkan bahwa Nabi Saw mengungkapkan kerinduan untuk berjumpa dengan Allah dalam sebuah untaian do’a :
اللهم اني اسالك الرضا بعد القضاء و برد العيش بعد ت الموت ولدة النظر الى وجهك الكريم والشوق الى لقائك
Ya Allah, sesungguhnya Saya memohon kepada-Mu, berikan saya ke-ridlaan setelah kepastian (Qadla), nikmatnya kehidupan setelah kematian, nikmatnya penglihatan untuk melihat-Mu dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu.[13]

6)    Al-Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut uns. Situasi uns ini mirip dengan al-fana sebab kata Dzu al nun, seseorang yang memperoleh keadaan uns kiranya ia dilemparkan ke neraka, tentu tidak akan merasakan panasnya neraka itu. Dan Imam al-Junaid juga mengatakan apabila seseorang telah sampai kepada kondisi jiwa uns, andaikata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya. Walaupun situasi atau keadaan uns itu mirip dan sudah hampir sama dengan fana, namun orang sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahwu, yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah.

7)    Al-Thuma’ninah
Secara harfiah, kata ini berarti tenang, tentram, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Setelah sekian lama ia berjalan, sekian berat perjuangan yang dihadapi, akhirnya sampailah ia ke ujung perjalanan, yang ia cari, yang ia cintai dan ia rindui.




8)   Al-Musyahadah
Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata  yang hampir sama maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan demikian tercapailah musyahadah. Orang yang memperoleh muhadharah disebut hudhur, yaitu apabila seseorang telah merasakan hadirnya Allah dalam hatinya secara terus-menerus sehingga yang yang dirasa dan diingatnya hanya Allah Swt.

9)    Al-Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi  perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Mencapai tingkat musyahadah dan al-yakin, menurut pengakuan para sufi  amat sulit dan jarang orang yang memperoleh karunia semulia itu. Mereka yang telah memperoleh karunia itu adalah para Auliya’, orang yang sudah sampai ke tingkat insan kamil.[14]

IV.     Kesimpulan
Al-ahwal itu, sebenarnya manifestasi dari maqamat yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa orang yang pantas menerima karunia al-hal hanyalah orang yang berusaha meningkatkan kualitas ibadah melalui latihan dan amalan yang sufi lakukan.
Bagian dari ahwal, sebagai berikut al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, al-mahabbah, as-syauq, al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Untuk mencapai keadaan semacam itu sangat sulit.

  V.     Penutup
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bersama, bahwa Al-Ahwal fi Tasawuf mempunyai peran penting terhadap kehidupan kita untuk menjadi jiwa muslim yang selalu beribadah dan dekat pada Allah.
Demikianlah pembahasan makalah sekelumit tentang Al-Ahwal fi Tasawuf. Kami sebagai pemakalah, menyadari bahwa makalah yang kami sampaikan  sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan kesalahan milik kami. Maka dari itu, perkenankanlah kami, meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca. Amien.
Dan akhir kata, pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa sistematika penyusunan, maupun isi serta penyampaian makalah ini.



[1] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 133.
[2] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 132.
[3] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 132 
[4]  Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 134
[5] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 414
[6] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 133
[7] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 203, 204, 227
[8] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 337
[9] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 181
[10] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 386
[11] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 134   
[12] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 389
[13] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 403
[14] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 135-138   

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’. Kairo : Darul Hadits.
Kurniawan, Irwan. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali. Bandung : Mizan.
Siregar, Prof. H.A. Rivay. 1999. Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta : Raja Grafindo Persada.