Rabu, 16 Oktober 2013

Makalah Tasawuf, Ahwal fi Tasawuf

Al-Ahwal fi Tasawuf




MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlaq Tasawuf
Dosen Pengampu : H. Abdul Khaliq, M.Ag.



DisusunOleh :

Moh. Latif Marzuqi                            123211052
Mufidin                                               123211053
Muhamad Aniq                                   123211054
Muhammad Daris Fithon                    123211055


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

     I.     Pendahuluan
Masalah pembangunan manusia seutuhnya bukanlah suatu pekerjaan sambilan, bukan pula masalah pendidikan dan pengajaran semata, melainkan juga menyangkut lingkungan hidup dan akan berjalan sepanjang hidupnya. Karenanya pembinaan manusia seutuhnya tidak bisa mengeyampingkan faktor-faktor agama, sebab bagaimanapun agama merupakan bangunan bawah dari moral suatu bangsa.
Unuk itulah, tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu agama, mengajarkan manusia dengan segala tingkah lakunya menjadi insan yang berbudi luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya kepada Sang Pencipta. Dan makalah ini akan membahas sekelumit hubungan anatara hamba dengan Sang Khaliq.
 
  II.     Rumusan Masalah
A.  Apa pengertian dari Ahwal Fi Tasawuf  ?
B.  Bagaimana perbedaan antara ahwal dengan maqamat ?
C.  Apa saja bagian dari Ahwal fi Tasawuf ?

III.     Pembahasan
A.  Pengertian dari Ahwal Fi Tasawuf
Dikalangan sufi, al-ahwal merupakan jamak dari al-hal yang dalam bahasa Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi sebagai karunia Allah Swt, bukan dari hasil usahanya.
Menurut al-Qusyairi, al-hal selalu bergerak naik setahap demi tahap sampai ke tingkat puncak kesempurnaan rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak dan selalu beralih berganti itulah disebut al-hal.[1]

B.  Perbedaan antara Ahwal dengan maqamat
Sebelum mengulas lebih jauh mengenai ahwal, mari kita menelaah perbedaan antara Ahwal dengan maqamat. Bahwasanya maqamat adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidup yang hasilnya dapat dilihat dari perilaku seorang, sedangkan al-hal bersifat abstrak yang tidak bisa dipandang oleh mata, hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau memilkinya.
Apabila diperhatikan isi dari apa yang disebut al-hal itu, sebenarnya manifestasi dari maqamat yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa orang yang pantas menerima karunia al-hal hanyalah orang yang berusaha meningkatkan kualitas ibadah melalui latihan dan amalan yang sufi lakukan.[2]

C.  Bagian dari Ahwal fi Tasawuf
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan sufi mengenai bagian al-hal, diantara sekian banyak nama dan sifat al-hal, yang terpenting serta yang paling banyak penganutnya adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Berikut bagian dari ahwal fi tasawuf : [3]
1)   Al-Muraqabah
Yang menurut orang sufi mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dan diawasi oleh Allah. Sikap mental muraqabah ini adalah salah satu sikap yang selalu memandang Allah dengan mata hatinya atau vision of heart. Sebaliknya iapun sadar, bahwa Allah juga selalu memandang kepadanya penuh perhatian. Orang yang memperoleh sikap mental muraqabah ini sudah pasti akan selalu berusaha menata dan membina kesucian diri dan amalnya. [4]
Kondisi ini sebagaimana termasuk untaian mutiara Nabi Muhammad Saw, sabda beliau Saw :
اُعْبُدِ اللهَ تعالى كَاَنَكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَهُ يَرَاكَ
“Sembahlah Allah Swt, seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, maka Dia melihatmu”
Muraqabah, mengontrol diri untuk selalu mengingat kepada Yang Menciptakan dan melawan nafsu. Jika nafsu itu teman yang berkhianat, maka tidak ada lagi alasan untuk membiarkannya walaupun sekejap agar tidak berkhianat. [5]

2)   Al-Khauf
Khauf menurut orang sufi, berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.[6]
Sifat khauf ini merupakan usaha untuk selalu dekat kepada Allah dengan Sikap mental ini merangsang seseorang melakukan hal-hal yang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat.
Sabda Nabi Saw :
مَنْ خَافَ مِنَ اللهِ خَافَهُ كُلُ شَيْئٍ وَ مْن خَافَ غَيْرَ اللهِ خَوَفَهُ اللهِ مِنْ كُلِ شَيْئٍ
“Barangsiapa yang takut kepada  Allah, maka segala sesuatu akan takut kepadanya. Dan barangsiapa yang takut kepada selain Allah, maka ia akan takut kepada segala sesuatu”
Bahkan dilain hadits, Nabi saw menegaskan rahasia orang yang takut pada Allah. Diriwayatkan dari Sayyidatuna Aisyah r.a, suatu ketika Aisyah r.a bertanya kepada Rasulullah Saw : “Ya Rasulallah, apakah seseorang dari ummat-mu yang akan masuk surga tanpa dihisab? Rasulullah Saw, bersabda : Ya ada, mereka orang yang ingat dosanya dan takut pada Allah lalu menangis kepada-Nya”  
Diriwayatkan dari Abu Darda’, : bahwa detak jantung Nabi Ibrahim Khalilullah pada saat melakukan shalat dapat didengar dari jarak satu mil karena beliau sangat takut pada Tuhan-nya Allah Swt.[7]

3)   Ar-Raja’
Ketahuilah, bahwasanya raja’  termasuk maqam para pesuluk dan ahwal (pngalaman ruhani) para thalibin. Raja’(harapan) berbeda dengan tamanni (angan-angan).  Raja merupakan harapan yang menyenangkan hati. Harapan itu merupakan kepuasan hati yang terhadap penantian sesuatu yang disukai, namun yang disukai itu harus memiliki sebab. Sedangkan tamanni merupakan penantian dengan kehilangan sebab-sebab (angan-angan).[8]
Diantara yang dapat menguatkan sebab raja’ (harapan) adalah termaktub dalam firman Allah dan mutiara sabda Nabi Muhammad.  
ö@è% yÏŠ$t7Ïè»tƒ tûïÏ%©!$# (#qèùuŽó r& #n?tã öNÎgÅ¡àÿRr& Ÿw (#qäÜuZø)s? `ÏB ÏpuH÷q§ «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ãÏÿøótƒ z>qçR%!$# $·èÏHsd 4 ¼çm¯RÎ) uqèd âqàÿtóø9$# ãLìÏm§9$# ÇÎÌÈ    
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosasemuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar : 53)

Ada sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah Saw datang kepada seseorang yang sedang sakaratil maut. Beliau bertanya, : “Bagaimana engkau mendapati dirimu?”. Orang itu menjawab, “Aku mendapati diriku dalam keadaan takut pada dosa-dosanya dan berharap pada rahmat Tuhanku”. Maka Rasulullah Saw, bersabda : “Keduanya tidak berkumpul pada kalbu seorang hamba ditempat ini kecuali Allah Swt, memberinya apa yang ia harapkan dan menyelamatkannya dari yang ditakutinya”. [9]

4)   Al-Mahabbah
Makna cinta (Mahabbah), adalah kecenderungan jiwa padanya karena keberadaannya sebagai suatu kelezatan pada dirinya. Berbeda dengan kebencian, ketidak sukaan jiwa karena keberadaannya sebagai sesuatu yang tidak cocok bagi dirinya.  Setiap yang bertambah kelezatannya, menambah kecintaannya. Maka kelezatan mata dalam melihat, kelezatan telinga dalam mendengar, dan kelezatan penciuman dalam mencium bau yang harum. Demikian pula, setiap indra memiliki kesesuaian yang menjadikannya kelezatan. Maka karenanya ia menyukainya.
Dengan demikian, bahwa pengihatan batin lebih kuat dibanding penglihatan lahir. Hati lebih tajam pandangannya dibanding mata. Sudah pasti, kelezatan hati diperoleh dari perkara-perkara Ilahi yang mulia dari pada yang diperoleh indra yang sempurna.[10]

5)   As-Syauq
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah, yaitu rasa rindu (yearning) yang memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta dan akan tumbuh menjadi rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu bergelora agar selalu bersama dia. Setiap denyutan jantung, detak kalbu dan desah nafas, ingatan hanya kepada sang kekasih (Allah), itulah rindu. Perasaan inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi agar selalu berada sedekat mungkin pada Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang didambakan setiap sufi.[11] Rindu memang tidak bisa dibayangkan kecuali oleh yang memiliki rasa cinta itu.
Jika cinta telah teguh, maka benarlah kerinduan kepada kekasih. Hal itu ditunjukkan dalam sebuah keterangan :
Diriwiyatkan bahwa Abu Darda’ berkata kepada Ka’ab, “Kabarkanlah kepadaku mengenai ayat paling khusus dalam Taurat.” Maka Ka’ab berkata, “Allah Azza wa Jalla berfirman, Lamalah kerinduan orang-orang yang baik untuk bertemu dengan-Ku. Dan kerinduan-Ku untuk bertemu dengan mereka lebih besar lagi. Barangsiapa yang mencari-Ku, maka ia akan mendapati-Ku. Dan barangsiapa mencari selain-Ku, maka ia tidak akan mendapati-Ku.” Maka Abu Darda’ berkata , “Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Saw, mengatakan ini.”[12]
Bahkan dalam sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Hakim, menerangkan bahwa Nabi Saw mengungkapkan kerinduan untuk berjumpa dengan Allah dalam sebuah untaian do’a :
اللهم اني اسالك الرضا بعد القضاء و برد العيش بعد ت الموت ولدة النظر الى وجهك الكريم والشوق الى لقائك
Ya Allah, sesungguhnya Saya memohon kepada-Mu, berikan saya ke-ridlaan setelah kepastian (Qadla), nikmatnya kehidupan setelah kematian, nikmatnya penglihatan untuk melihat-Mu dan kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu.[13]

6)    Al-Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut uns. Situasi uns ini mirip dengan al-fana sebab kata Dzu al nun, seseorang yang memperoleh keadaan uns kiranya ia dilemparkan ke neraka, tentu tidak akan merasakan panasnya neraka itu. Dan Imam al-Junaid juga mengatakan apabila seseorang telah sampai kepada kondisi jiwa uns, andaikata tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya. Walaupun situasi atau keadaan uns itu mirip dan sudah hampir sama dengan fana, namun orang sufi tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahwu, yaitu sekedar pemusatan seluruh ekspresi secara utuh kepada satu arah.

7)    Al-Thuma’ninah
Secara harfiah, kata ini berarti tenang, tentram, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tidak ada yang mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Setelah sekian lama ia berjalan, sekian berat perjuangan yang dihadapi, akhirnya sampailah ia ke ujung perjalanan, yang ia cari, yang ia cintai dan ia rindui.




8)   Al-Musyahadah
Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia telah merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah adalah dua kata  yang hampir sama maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya terjadilah mukasyafah, yaitu tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan demikian tercapailah musyahadah. Orang yang memperoleh muhadharah disebut hudhur, yaitu apabila seseorang telah merasakan hadirnya Allah dalam hatinya secara terus-menerus sehingga yang yang dirasa dan diingatnya hanya Allah Swt.

9)    Al-Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah dalam jiwanya dan tumbuh bersemi  perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin adalah kepercayaan yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Mencapai tingkat musyahadah dan al-yakin, menurut pengakuan para sufi  amat sulit dan jarang orang yang memperoleh karunia semulia itu. Mereka yang telah memperoleh karunia itu adalah para Auliya’, orang yang sudah sampai ke tingkat insan kamil.[14]

IV.     Kesimpulan
Al-ahwal itu, sebenarnya manifestasi dari maqamat yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa orang yang pantas menerima karunia al-hal hanyalah orang yang berusaha meningkatkan kualitas ibadah melalui latihan dan amalan yang sufi lakukan.
Bagian dari ahwal, sebagai berikut al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, al-mahabbah, as-syauq, al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Untuk mencapai keadaan semacam itu sangat sulit.

  V.     Penutup
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bersama, bahwa Al-Ahwal fi Tasawuf mempunyai peran penting terhadap kehidupan kita untuk menjadi jiwa muslim yang selalu beribadah dan dekat pada Allah.
Demikianlah pembahasan makalah sekelumit tentang Al-Ahwal fi Tasawuf. Kami sebagai pemakalah, menyadari bahwa makalah yang kami sampaikan  sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan kesalahan milik kami. Maka dari itu, perkenankanlah kami, meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca. Amien.
Dan akhir kata, pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa sistematika penyusunan, maupun isi serta penyampaian makalah ini.



[1] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 133.
[2] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 132.
[3] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 132 
[4]  Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 134
[5] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 414
[6] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 133
[7] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 203, 204, 227
[8] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 337
[9] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 181
[10] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 386
[11] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 134   
[12] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 389
[13] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 403
[14] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 135-138   

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’. Kairo : Darul Hadits.
Kurniawan, Irwan. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali. Bandung : Mizan.
Siregar, Prof. H.A. Rivay. 1999. Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta : Raja Grafindo Persada.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar