Al-Ahwal fi Tasawuf
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Akhlaq Tasawuf
Dosen Pengampu
: H. Abdul Khaliq, M.Ag.
DisusunOleh :
Moh. Latif
Marzuqi 123211052
Mufidin 123211053
Muhamad Aniq 123211054
Muhammad Daris Fithon 123211055
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I. Pendahuluan
Masalah pembangunan manusia seutuhnya bukanlah suatu pekerjaan sambilan,
bukan pula masalah pendidikan dan pengajaran semata, melainkan juga menyangkut
lingkungan hidup dan akan berjalan sepanjang hidupnya. Karenanya pembinaan
manusia seutuhnya tidak bisa mengeyampingkan faktor-faktor agama, sebab
bagaimanapun agama merupakan bangunan bawah dari moral suatu bangsa.
Unuk itulah, tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu agama,
mengajarkan manusia dengan segala tingkah lakunya menjadi insan yang berbudi
luhur, baik sebagai makhluk sosial maupun sebagai hamba dalam hubungannya
kepada Sang Pencipta. Dan makalah ini akan membahas sekelumit hubungan anatara
hamba dengan Sang Khaliq.
II.
Rumusan
Masalah
A. Apa pengertian dari Ahwal Fi Tasawuf ?
B. Bagaimana perbedaan antara ahwal dengan maqamat ?
C. Apa saja bagian dari Ahwal
fi Tasawuf ?
III. Pembahasan
A. Pengertian dari Ahwal Fi Tasawuf
Dikalangan
sufi, al-ahwal merupakan jamak dari al-hal yang dalam bahasa
Inggris disebut state, adalah situasi kejiwaan yang diperoleh oleh seorang sufi
sebagai karunia Allah Swt, bukan dari hasil usahanya.
Menurut
al-Qusyairi, al-hal selalu bergerak naik setahap demi tahap sampai ke
tingkat puncak kesempurnaan rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak
dan selalu beralih berganti itulah disebut al-hal.[1]
B. Perbedaan antara Ahwal dengan maqamat
Sebelum
mengulas lebih jauh mengenai ahwal, mari kita menelaah perbedaan antara Ahwal
dengan maqamat. Bahwasanya maqamat adalah tingkatan
pelatihan dalam membina sikap hidup yang hasilnya dapat dilihat dari perilaku
seorang, sedangkan al-hal bersifat abstrak yang tidak bisa dipandang
oleh mata, hanya dapat dipahami dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya atau
memilkinya.
Apabila
diperhatikan isi dari apa yang disebut al-hal itu, sebenarnya
manifestasi dari maqamat yang mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa orang yang pantas
menerima karunia al-hal hanyalah orang yang berusaha meningkatkan
kualitas ibadah melalui latihan dan amalan yang sufi lakukan.[2]
C. Bagian dari Ahwal fi Tasawuf
Terdapat
perbedaan pendapat dikalangan sufi mengenai bagian al-hal,
diantara sekian banyak nama dan sifat al-hal, yang terpenting serta yang
paling banyak penganutnya adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’,
al-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin. Berikut bagian dari ahwal fi
tasawuf : [3]
1)
Al-Muraqabah
Yang
menurut orang sufi mengandung pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu
berhadapan dan diawasi oleh Allah. Sikap mental muraqabah ini adalah
salah satu sikap yang selalu memandang Allah dengan mata hatinya atau vision of heart. Sebaliknya iapun sadar,
bahwa Allah juga selalu memandang kepadanya penuh perhatian. Orang yang
memperoleh sikap mental muraqabah ini
sudah pasti akan selalu berusaha menata dan membina kesucian diri dan amalnya. [4]
Kondisi
ini sebagaimana termasuk untaian mutiara Nabi Muhammad Saw, sabda beliau Saw :
اُعْبُدِ
اللهَ تعالى كَاَنَكَ تَرَاهُ فَاِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَاِنَهُ يَرَاكَ
“Sembahlah
Allah Swt, seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya,
maka Dia melihatmu”
Muraqabah, mengontrol diri untuk selalu mengingat kepada Yang Menciptakan dan melawan
nafsu. Jika nafsu itu teman yang berkhianat, maka tidak ada lagi alasan untuk
membiarkannya walaupun sekejap agar tidak berkhianat. [5]
2)
Al-Khauf
Khauf
menurut orang sufi, berarti suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang
sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang
padanya. Adanya
perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha agar sikap dan laku perbuatannya
tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.[6]
Sifat khauf ini merupakan usaha untuk selalu dekat kepada Allah dengan Sikap mental ini merangsang seseorang melakukan hal-hal yang baik dan mendorongnya untuk
menjauhi perbuatan maksiat.
Sabda Nabi Saw :
مَنْ
خَافَ مِنَ اللهِ خَافَهُ كُلُ شَيْئٍ وَ مْن خَافَ غَيْرَ اللهِ خَوَفَهُ اللهِ مِنْ
كُلِ شَيْئٍ
“Barangsiapa yang takut kepada Allah, maka segala sesuatu akan takut
kepadanya. Dan barangsiapa yang takut kepada selain Allah, maka ia akan takut
kepada segala sesuatu”
Bahkan dilain hadits, Nabi saw menegaskan rahasia orang yang takut pada
Allah. Diriwayatkan dari Sayyidatuna Aisyah r.a, suatu ketika Aisyah r.a
bertanya kepada Rasulullah Saw : “Ya Rasulallah, apakah seseorang dari
ummat-mu yang akan masuk surga tanpa dihisab? Rasulullah Saw, bersabda :
Ya ada, mereka orang yang ingat dosanya dan takut pada Allah lalu menangis
kepada-Nya”
Diriwayatkan dari Abu Darda’, : bahwa detak jantung Nabi Ibrahim Khalilullah pada saat melakukan shalat
dapat didengar dari jarak satu mil karena beliau sangat takut pada Tuhan-nya
Allah Swt.[7]
3)
Ar-Raja’
Ketahuilah, bahwasanya raja’ termasuk maqam para pesuluk dan ahwal
(pngalaman ruhani) para thalibin. Raja’(harapan) berbeda dengan
tamanni (angan-angan). Raja merupakan
harapan yang menyenangkan hati. Harapan itu merupakan kepuasan hati yang
terhadap penantian sesuatu yang disukai, namun yang disukai itu harus memiliki
sebab. Sedangkan tamanni merupakan penantian dengan kehilangan
sebab-sebab (angan-angan).[8]
Diantara yang dapat menguatkan sebab raja’ (harapan) adalah
termaktub dalam firman Allah dan mutiara sabda Nabi Muhammad.
ö@è% yÏ$t7Ïè»t tûïÏ%©!$# (#qèùuó r& #n?tã öNÎgÅ¡àÿRr& w (#qäÜuZø)s? `ÏB ÏpuH÷q§ «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# ãÏÿøót z>qçR%!$# $·èÏHsd 4 ¼çm¯RÎ) uqèd âqàÿtóø9$# ãLìÏm§9$# ÇÎÌÈ
“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang
malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari
rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosasemuanya. Sesungguhnya
Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar : 53)
Ada sebuah hadits, bahwasanya Rasulallah Saw datang kepada seseorang yang
sedang sakaratil maut. Beliau bertanya, : “Bagaimana engkau mendapati
dirimu?”. Orang itu menjawab, “Aku mendapati diriku dalam keadaan takut
pada dosa-dosanya dan berharap pada rahmat Tuhanku”. Maka Rasulullah Saw,
bersabda : “Keduanya tidak berkumpul pada kalbu seorang hamba ditempat ini
kecuali Allah Swt, memberinya apa yang ia harapkan dan menyelamatkannya dari
yang ditakutinya”. [9]
4)
Al-Mahabbah
Makna cinta (Mahabbah), adalah
kecenderungan jiwa padanya karena keberadaannya sebagai suatu kelezatan pada
dirinya. Berbeda dengan kebencian, ketidak sukaan jiwa karena keberadaannya
sebagai sesuatu yang tidak cocok bagi dirinya.
Setiap yang bertambah kelezatannya, menambah kecintaannya. Maka
kelezatan mata dalam melihat, kelezatan telinga dalam mendengar, dan kelezatan
penciuman dalam mencium bau yang harum. Demikian pula, setiap indra memiliki
kesesuaian yang menjadikannya kelezatan. Maka karenanya ia menyukainya.
Dengan demikian, bahwa pengihatan batin lebih kuat dibanding penglihatan
lahir. Hati lebih tajam pandangannya dibanding mata. Sudah pasti, kelezatan
hati diperoleh dari perkara-perkara Ilahi yang mulia dari pada yang diperoleh
indra yang sempurna.[10]
5)
As-Syauq
Syauq atau rindu adalah kondisi kejiwaan yang menyertai mahabbah,
yaitu rasa rindu (yearning) yang memancar dari kalbu karena gelora cinta
yang murni. Pengetahuan dan pengenalan yang mendalam terhadap Allah akan
menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa senang dan bergairah melahirkan cinta
dan akan tumbuh menjadi rasa rindu. Rindu ingin bertemu, hasrat selalu
bergelora agar selalu bersama dia. Setiap denyutan jantung, detak kalbu dan
desah nafas, ingatan hanya kepada sang kekasih (Allah), itulah rindu. Perasaan
inilah yang menjadi motor pendorong orang sufi agar selalu berada sedekat
mungkin pada Allah, yang menjadi sumber segala kenikmatan dan keindahan yang
didambakan setiap sufi.[11]
Rindu memang tidak bisa dibayangkan kecuali oleh yang memiliki rasa cinta itu.
Jika cinta telah teguh, maka benarlah kerinduan kepada kekasih. Hal itu
ditunjukkan dalam sebuah keterangan :
Diriwiyatkan bahwa Abu Darda’ berkata kepada Ka’ab, “Kabarkanlah kepadaku mengenai ayat paling khusus dalam Taurat.” Maka
Ka’ab berkata, “Allah Azza wa Jalla
berfirman, Lamalah kerinduan orang-orang yang baik untuk bertemu dengan-Ku. Dan
kerinduan-Ku untuk bertemu dengan mereka lebih besar lagi. Barangsiapa yang
mencari-Ku, maka ia akan mendapati-Ku. Dan barangsiapa mencari selain-Ku, maka
ia tidak akan mendapati-Ku.” Maka Abu Darda’ berkata , “Aku bersaksi bahwa aku mendengar Rasulullah Saw, mengatakan ini.”[12]
Bahkan dalam sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan
Imam Hakim, menerangkan bahwa Nabi Saw mengungkapkan kerinduan untuk berjumpa
dengan Allah dalam sebuah untaian do’a :
اللهم اني اسالك الرضا بعد القضاء و برد العيش بعد ت الموت ولدة النظر الى
وجهك الكريم والشوق الى لقائك
Ya Allah, sesungguhnya Saya memohon
kepada-Mu, berikan saya ke-ridlaan setelah kepastian (Qadla), nikmatnya
kehidupan setelah kematian, nikmatnya penglihatan untuk melihat-Mu dan
kerinduan untuk berjumpa dengan-Mu.[13]
6)
Al-Uns
Uns adalah keadaan jiwa dan seluruh ekspresi terpusat
penuh kepada suatu titik sentrum yaitu Allah, tidak ada yang dirasa, tidak ada
yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwanya terpusat
bulat sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam
situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti
itulah yang disebut uns. Situasi uns ini mirip dengan al-fana sebab kata
Dzu al nun, seseorang yang memperoleh keadaan uns kiranya ia dilemparkan ke
neraka, tentu tidak akan merasakan panasnya neraka itu. Dan Imam al-Junaid juga
mengatakan apabila seseorang telah sampai kepada kondisi jiwa uns, andaikata
tubuhnya ditusuk dengan pedang, ia tidak akan merasakannya. Walaupun situasi
atau keadaan uns itu mirip dan sudah hampir sama dengan fana, namun orang sufi
tidak menyebutnya fana, tetapi al-mahwu, yaitu sekedar pemusatan seluruh
ekspresi secara utuh kepada satu arah.
7)
Al-Thuma’ninah
Secara harfiah, kata ini berarti tenang, tentram, tidak ada rasa was-was
atau khawatir, tidak ada yang mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Setelah sekian lama ia
berjalan, sekian berat perjuangan yang dihadapi, akhirnya sampailah ia ke ujung
perjalanan, yang ia cari, yang ia cintai dan ia rindui.
8)
Al-Musyahadah
Kata musyahadah adalah menyaksikan dengan mata kepala, tetapi dalam
terminologi tasawuf diartikan menyaksikan secara jelas dan sadar apa yang
dicarinya itu. Dalam hal ini apa yang dicari seorang sufi adalah Allah. Jadi ia
telah merasa berjumpa dengan Allah. Muhadharah dan mukasyafah
adalah dua kata yang hampir sama
maksudnya dengan musyahadah. Kalau dapat diartikan sebagai adanya perasaan
hadirnya atau beradanya Allah dalam hatinya, maka sebagai kelanjutannya
terjadilah mukasyafah, yaitu
tersingkapnya tabir yang menjadi senjangan antara sufi dengan Allah. Dengan
demikian tercapailah musyahadah.
Orang yang memperoleh muhadharah
disebut hudhur, yaitu apabila seseorang telah merasakan hadirnya Allah dalam
hatinya secara terus-menerus sehingga yang yang dirasa dan diingatnya hanya
Allah Swt.
9)
Al-Yaqin
Perpaduan antara pengetahuan yang luas dan mendalam dengan rasa cinta dan
rindu yang bergelora bertaut lagi dengan perjumpaan secara langsung tertanamlah
dalam jiwanya dan tumbuh bersemi
perasaan yang mantap, Dialah yang dicari itu. Perasaan mantapnya
pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang disebut
dengan al-yakin. Dengan demikian, al-yakin adalah kepercayaan
yang kokoh tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang ia miliki, karena
ia sendiri menyaksikannya dengan segenap jiwanya dan ia rasakan dengan seluruh
ekspresinya serta dipersaksikan oleh segenap eksistensialnya.
Mencapai tingkat musyahadah dan
al-yakin, menurut pengakuan para sufi
amat sulit dan jarang orang yang memperoleh karunia semulia itu. Mereka
yang telah memperoleh karunia itu adalah para Auliya’, orang yang sudah sampai
ke tingkat insan kamil.[14]
IV. Kesimpulan
Al-ahwal itu, sebenarnya manifestasi dari
maqamat yang
mereka lalui sebelumnya. Artinya, bahwa orang yang pantas menerima karunia al-hal
hanyalah orang yang berusaha meningkatkan kualitas ibadah melalui latihan
dan amalan yang sufi lakukan.
Bagian
dari ahwal, sebagai berikut al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, al-mahabbah, as-syauq, al-thuma’ninah,
al-musyahadah, dan al-yaqin. Untuk mencapai keadaan
semacam itu sangat sulit.
V.
Penutup
Dari pembahasan di atas
dapat kita ketahui bersama, bahwa Al-Ahwal fi Tasawuf mempunyai peran
penting terhadap kehidupan
kita untuk menjadi jiwa muslim yang selalu beribadah dan dekat pada Allah.
Demikianlah pembahasan
makalah sekelumit tentang Al-Ahwal fi Tasawuf. Kami sebagai pemakalah,
menyadari bahwa makalah yang kami sampaikan
sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah,
dan kesalahan milik kami. Maka dari itu, perkenankanlah kami, meminta kritik
dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca. Amien.
Dan akhir kata, pemakalah
mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa sistematika penyusunan,
maupun isi serta penyampaian makalah ini.
[1]
Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 133.
[2]
Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 132.
[3]
Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 132
[4] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf : dari
Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 134
[5] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan
Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung
: Mizan, 2008), hlm 414
[6] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf :
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm. 133
[7] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 203, 204, 227
[8] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan
Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung
: Mizan, 2008), hlm 337
[9] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 181
[10] Irwan Kurniawan, Mutiara
Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya
Imam Ghazali, (Bandung : Mizan, 2008), hlm 386
[11] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf :
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999),
hlm. 134
[12] Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan
Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali, (Bandung
: Mizan, 2008), hlm 389
[13] Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, Ihya’
Ulumuddin Juz Rabi’, (Kairo : Darul Hadits), hlm 403
[14] Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf :
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.
135-138
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali,
Imam Abi Hamid Muhammad ibn Muhammad, Ihya’ Ulumuddin Juz Rabi’. Kairo :
Darul Hadits.
Kurniawan,
Irwan. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh
Sang Hujjatul Islam Karya Imam Ghazali. Bandung : Mizan.
Siregar, Prof. H.A. Rivay. 1999. Tasawuf : dari Sufisme
Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar