PEMBAGIAN
HADITS MENURUT KUALITAS PERIWAYAT
MAKALAH
Disusun guna memenuhi
tugas
Mata kuliah : Ulumul Hadits
Disusun Oleh :
1. Muhamad Aniq 123211054
2. Muhammad Daris Fithon 123211055
3. Muhammad Fikri Yuniar Sholeh 123211056
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.
Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah
al-Qur’an, hadits menempati posisi yang sangat penting dan strategis di dalam
kajian-kajian ke-Islaman. Umat Islam harus mempunyai dasar dalam berkehidupan,
karena semua kehidupan bersangkutan dengan hukum syari’at. Namun kenyataan yang
terjadi, hadits-hadits yang seharusnya suci, banyak beredar hadits yang dipalsukan, yang
telah beredar dikalangan umat Islam.
Para ulama zaman klasik (Salafus Sholihin),
melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits yang mereka
dapat, sehingga dapat dipilah mana hadits yang benar-benar berasal dari Nabi
Saw, mana yang bukan?.
Agar dalam berkehidupan kita memenuhi aturan yang
berlaku di dalam agama Islam sekaligus kita mendapatkan rahmat dari Allah dan
syafa’at dari Rasulullah.
Untuk itu, Ulama hadits membuat kaidah-kaidah,
acuan-acuan, dan ketentuan untuk menentukan keshahihan hadits tersebut. Dalam
pembahasan ini, kami akan membahas kualitas hadits berdasarkan periwayat yang
meriwayatkan hadis tersebut. Antara lain pembahasanya meliputi :
A.
Apa Pengertian Hadits shahih dan pembagianya?
B.
Apa pengertian Hadits hasan, pembagian beserta contohnya
?
C.
Apa pengertian Hadits dhaif, pembagian beserta
contohnya ?
D.
Apakah kehujjahan hadits shahih dan contohnya ?
E.
Apakah kehujjahan hadits hasan ?
F.
Apakah kehujjahan hadits dhaif ?
Hadits
ditinjau dari segi kualitas periwayat yang meriwayatkannya, terbagi dalam tiga
macam, yaitu shahih, hasan, dan dhaif.
II.
Pengertian Hadits Shahih dan Pembagiannya
Shahih menurut lughot adalah lawan dari “saqim”,
artinya sehat lawan sakit, haq lawan bathil.[1]
Menurut ulama ahli hadits, hadis shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung,
dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir
pada Rasulullah Saw, atau sahabat atau tabi’in, bukan hadits yang syadz
(kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Definisi lain, hadits shahih adalah :
مانقله عدل تام الضبط متصل السند
غير معلل ولاشاد
“Hadits
yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil,sempurna ingatannya,
sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal.”[2]
Untuk mengetahui bagaimana kategori hadits itu
dikatakan shahih ataupun bukan? Hadits yang dapat dijadikan pedoman maupun
sumber sebuah hukum atau bukan?
Menurut muhaditsin, suatu hadits dapat dinilai
shahih, apabila memenuhi syarat-syarat hadits shahih sebagai berikut :
a) Rawinya
bersifat adil
Menurut Syuhudi Ismail,
kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah :
Ø Beragama
Islam
Ø Berstatus
mukallaf
Ø Melaksanakan
ketentuan-ketentuan agama
Ø Memelihara
muru’ah
b) Rawinya
bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi
yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalan
yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika
meriwayatkannya.[3]
Yang dicakup oleh
pengertian dhabit dalam periwayatannya disini ada dua kategori, yaitu dhabit
fi al-shadri ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak menerima
hadits sampai meriwayatkan kepada orang lain. Sedangkan dhabit fi al-kitab, ialah
terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Kedhabitan seorang
perawi, tidak berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan.
Mungkin kekeliruan itu sesekali terjadi. Yang demikian itu tidak dianggap
sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.[4]
c) Sanadnya
bersambung
Yang dimaksud disini adalah bahwa setiap rawi
hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya
dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya
suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata cara penelitian berikut :
Ø Mencatat
semua nama rawi dalam sanad yang diteliti
Ø Mempelajari
sejarah hidup masing-masing rawi
Ø Meneliti
kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan
sanad.
d) Tidak
ber-‘illat
Maksudnya bahwa hadits yang bersangkutan
terbebas dari cacat keshahihannya, yakni hadits itu terbatas dari sifat-sifat
samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukkan
adanya cacat tersebut.
e) Tidak
syadz (janggal)
Kejanggalan hadits
terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi
maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah
sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[5]
Para
ulama hadits, membagi hadits shahih menjadi dua macam, yaitu :
a) Shahih li
Dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits
maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat lima, sebagaimana yang disebutkan diatas.
Contoh hadits Shahih li dzatihi:
لولاان اشق على امتى او على الناس لامرتهم بالسواك مع كل صلاة
Hadits ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.
b) Shahih li
Ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat
tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.
Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal,
misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke-dhabit-annya, ia
dinilai kurang. Hadits ini menjadi shahih karena ada hadits
lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang
setingkat atau malah lebih shahih.
Hadits dibawah ini
merupakan contoh hadits hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi Shahih li
Ghairihi:
لولاان اشق على امتى او على الناس لامرتهم بالسواك مع
كل صلاة
“Andaikan
tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap
kali hendak melaksanakan sholat”(HR. Bukhari).
Menurut Ibnu al-Shalah,
bahwa Muhammad bin Amr adalah terkenal sebagai orang yang jujur, akan tetapi
ke-dhabit-annya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai
tingkat hasan. Hadits tersebut pada mulanya adalah hasan li dzatih. Karena ada
riwayat lain yang lebih tsiqqah-seperti hadits riwayat al-Bukhari yang
diriwiyatkan melalui jalur al-A’raj pada contoh hadits shahih lidzatih. Maka
hadits hasan tersebut naik menjadi shahih li ghairih.
Jadi pebedaan antara kedua
bagian hadits ini terletak pada segi ke-dhabit-an perawinya. Pada shahih li
dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadits shahih li ghairihi, ingatan
perawinya kurang sempurna (qalil al-dhabith).[6]
III.
Pengertian Hadits Hasan, Pembagian dan Contohnya
Terkadang terdapat
sedikit kekurangan pada sesuatu sanad hadits. Umpamanya, kurang kuat ingatan
perawinya. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang kurang
kuat hafalannya, dinamakan “hadits hasan”, yaitu suatu derajat antara shahih dengan
dhaif.[7]
Hasan, menurut lughat adalah sifat musyabahah
dari Al-Husna, artinya bagus. Menurut Ibnu Hajar al-Asqolany, hadits hasan adalah :
خيرالاحاد بنقل
عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولاشاد
“khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna
hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan
tidak syadz”[8]
Ulama
yang mula-mula memakai istilah hasan, ialah Abu Isa at-Turmudzi. Walaupun
kalimat hasan sudah terdapat dalam kalangan ulama-ulama sebelum Turmudzi, namun
belum dipandang sebagai suatu bagian hadits.
Para ulama sebelumnya membagi hadits pada dua bagian saja, seperti yang
telah ditegaskan Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, yaitu shahih dan dhaif. Yang
dhaif dalam tanggapan Ulama sebelum Turmudzi adalah yang diistilahkan dengan
hasan oleh Turmudzi. Yang benar-benar lemah, di istilahkan dengan wahi.[9]
Untuk membedakan antara
hadits shahih dan hadits hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadits
tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadits hasan yang disandang oleh
orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadits shahih terdapat
rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari
keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan
kandungannya dapat dijadikan penguat.[10]
Sebagaimana hadits shahih
yang mempunyai syarat-syarat bahwa sebuah hadits dapat dikategorikan dalam
golongan hadits shahih. Dalam hadits hasan pun, ada beberapa syarat untuk
dikategorikan dalam hadits hasan, syarat-syaratnya yaitu :
1.
Sanadnya bersambung
2.
Perawinya adil
3.
Perawinya dhabit, tetapi
kualitas ke-dhabit-annya dibawah ke-dhabit-an perawi hadits shahih
4.
Idak terdapat kejanggalan
atau syadz, dan
5.
Tidak ber’illat.[11]
Para ulama hadits, membagi hadits hasan
menjadi dua bagian, yaitu :
a)
Hadits Hasan li Dzatih
Hadits
hasan li dzatih, ini bisa baik derajatnya menjadi hadits
shahih (li ghairih) bila ada hadits lain yang sejenis diriwayatkan melalui
jalur sanad yang lain.[12]
Jadi,
apabila haditsnya diriwayatkan pula dari sumber lain, meskipun hanya satu
sumber hadits tersebut akan menjadi kuat dan kehilangan kekuatiran bahwa
perawinya buruk ingatan. Dengan demikian, hadits nya pun naik dari tingkat
hasan ke tingkatan shahih. Contohnya :
لولاان اشق على امتى او على الناس لامرتهم بالسواك مع
كل صلاة
Matan
hadits tersebut memiliki jalur sanad : Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari
Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan
ingatan dan kecerdasannya, meskipun banyak pula yang menganggapnya terpercaya.
Hadits ini bersifat hasan lidzatih dan shahih ligahirih, karena diriwayatkan
pula dari guru Muhammad dan dari gurunya lagi. Hadits itu juga diriwayatkan
dari Abu Hurairah oleh banyak orang, diantaranya Al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’ad
al-Maqbari. [13]Maka
hadits ini, naik derajatnya menjadi shahih li ghairih.
b)
Hadits Hasan li Ghairih
Secara
singkat, hasan li ghairih ini terjadi dari hadits dhaif jika banyak
periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui keahliannya dalam
meriwayatkan hadits. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau
tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. Begitulah para ulama
memberikan batasan hadits jenis ini, termasuk Ath-Thibi yang berkata :
“Hadits hasan adalah hadits musnad yang dekat kepada derajat kepercayaan, atau
mursal orang yang kepercayaan masing-masingnya, diriiwayatkan dari banyak jalan
dan sejahtera dari syudzuz dan illat.” Contoh hadits hasan, Abdullah ibn Amr ibn Rabi’ah meriwayatkan
dari ayahnya, bahwasanya seorang wanita kaum Fazarah berkawin dengan mahar
sepasang sepatu, lalu Rasul Saw bersabda :
ارضيت من نفسك و مالك بنعلين ؟ قالت : نعم, فاجاز
“Apakah engkau suka menyerahkan diri dan harta engkau dengan
sepasang sepatu? Perempuan tersebut menjawab : . . .Bahkan, maka Nabi Saw pun
membenarkannya.”
Hadits ini diriwayatkan
at-Turmudzi, dari Syu’bah, dari ‘Ashim ibn Ubaidullah, dari Abdullah ibn Amr.
As-Suyuti mengatakan bahwa : “Ashim ini dhaif, lantaran lemah hafalannya”.
Dalam pada itu, dipandang hadits ini hasan li ghairih, karena mempunyai jalan
yang lain dari itu. [14]
Jadi, sistem
periwayatannya terutama syarat-syarat keshahihannya banyak yang tidak
terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak
berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa.
Jadi,
hadits dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadits hasan ini, hanyalah
hadits-hadits yang tidak terlalu lemah. Sementara hadits-hadits yang sangat
lemah, seperti hadits maudhu’, hadits munkar, dan hadits matruk, betapapun
adanya syahid dan muttabi’, kedudukannya tetap sebagai hadits dha’if, tidak bisa berubah menjadi
hadits hasan.[15]
IV.
Pengertian, Pembagian Hadits Dhaif
dan Contohnya
Menurut bahasa berarti
lemah atau lawan qowiyyu yang berarti kuat. Sedangkan menurut istilah : yang
tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan. Dengan secara tegas,
hadits dhaif ialah yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan ditolaknya
hadits.
Hadits dhaif apabila
ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dia dibagi kepada dua bagian :
pertama, karena terdapat keguguran perawi dalam sanadnya (Sebab
terputusnya sanad); kedua, karena terdapat sesuatu yang menyebabkan
dicacat perawinya. [16]
Para ulama hadits, berdasarkan sebab-sebab diatas,
maka macam-macam hadits dhaif ini dikelompokkan sebagai berikut :
a. Pembagian
hadits dhaif sebab terputusnya sanad (keguguran perawi dalam sanad) dan
contohnya , seperti :
1. Hadits
Mu’allaq
Mu’allaq menurut berarti
yang dibuang awal sanadnya, baik yang dibuang itu seorang atau banyak walaupun
sampai akhir sanad. Sebagai contoh, Bukhari meriwayatkan hadits dari Bahz ibn
Hakim dari Bapaknya dan dari Kakeknya, bahwa Nabi bersabda :
الله احق ان يستحيى من الناس
“Allah
itu lebih berhak untuk dijadikan tempat mengadu malu daripada manusia.”
Hadits diatas dalam sanad Abu Daud adalah ia
menerima dari Abdullah ibn Maslamah, dari Ubay, dari Bahz ibn Hakim dan
seterusnya. Ini berarti Imam Bukhari dalam kitab shahihnya menta’liqkan
kira-kira dua orang perawi.
Hadits mu’allaq bisa dianggap shahih bila sanad
yang digugurkan itu disebutkan oleh hadits yang bersanad lain. Dalam shahih
Bukhari sendiri, ada 1.341 hadits mu’allaq, sedang dalam shahih Muslim ada 3
buah hadits. Maksud mereka menta’liqkan dalam sanad tersebut untuk meringkas
dan menghindari perulangan sanad. Dalam shahih Bukhari, jika ia meggunakan
sighat al-jazm (ungkapan yang pasti) seperti qala, fa’ala, amara dan dzakara
fulanun maka dihukumi hadits shahih. Sedangkan bila memakai sighat yurwa,
yudzkaru, yuha, dzukira, dan hukiya fulanun maka dihukumi hadits dhaif.[17]
2.
Hadits Mursal
Hadits
mursal adalah hadits yang mutlak marfu’ tabi’i besar atau kecil, dan
disandarkan kepada Nabi Saw. Sebab kedhaifannya, karena tidak adanya
kesinambungan dalam sanad. Disebut mursal, karena perawinya melepas hadits
tanpa mengikatnya dengan sahabat yang menerimanya dari Rasulullah.[18]
Tabi’in
tidak menyebutkan bahwa ia menerima hadits itu dari sahabat, melainkan
mengatakannya dari Rasul Saw. Ada dua macam mursal :
a)
Mursal al-jali, yaitu tidak disebutkannya (gugur)
nama sahabat tersebut dilakukan oleh sahabat besar.
Contoh hadits yang diriwayatkan
oleh Malik, dari Abdurrahman Harmalah, dari Said ibn Al-Musaiyab, bahwa Nabi
bersabda :
بينناوبين المنافقين شهودالعشاء والصبح, لايستطيعون
“Perbedaan antara kami dan orang munafik ialah berjamaa’ah isya’
dan subuh, sedangkan mereka tidak sanggup mengerjakanya”
b)
Mursal al-khafi
Pengguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in
yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in
tersebut meskipun ia hidup sezaman sahaby, tetapi ia tidak pernah mendengar sebuah hadits pun
daripadanya.
Termasuk
juga ke dalam hadits mursal ini, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seorang
sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dari Rasulallah (karena mungkin
ia masih kecil atau tidak ada pada majlis Rasul saat hadits itu diwurudkan),
akan tetapi dikatakannya bahwa ia menerima hadits itu dari Rasulallah Saw. Para
ulama hadits menyebutnya mursal al-shahaby.[19]
3.
Hadits Munqati’
Munqati’ berarti Hadits yang telah gugur seorang
perawi dari sanad sebelum sahaby, atau
telah gugur dua orang perawi dari sanad,
dengan syarat tidak berurut-urut. Contohnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah, dari Ismail ibn Ibrahim, dari Laits, dari
Abdillah ibn Al Hasan ibn Ali, dari Ibunya Fathimah binti Al Husain ibn Ali
dari Fatimah Az-Zahra, puteri Rasulallah Saw berkata :
كان رسول الله صلى
الله ص م إذادخل المسجد قال بسم اللّه والسلام علي رسول الله اللهمّ اغفرلي ذنو بي
وافتح لي ابواب رحمتك
“Adalah Nabi SAW, apabila masuk ke dalam masjid, beliau membaca : Bismillah wa salamu
ala rasulillah. Allahumma ighfirli dzunubi wa iftah li abwaba rahmatika.”
Menurut
Ibnu Majah, “Hadits ini munqathi’, telah gugur seorang perawi dari sanadnya”.
Diketahui hal yang demikian ini, ialah dengan karena Fathimah binti Al Husain
(Ibu Abdullah ibn Al-Husain) itu tiada bertemu dengan Fatimah Az-Zahra.
Demikianlah dhaifnya hadits ini.
4.
Hadits Mu’dal
Yang dimaksud mu’dal adalah hadits gugurnya dua
orang perawi secara berturut-turut dan dimanapun saja. Contoh Al-Iraqi
mengatakan : Abu Nashir telah memberi contoh mu’dhal dengan perkataan Malik
dalam Al-Muwattha’ : ”Telah sampai kepadaku dari Abu Hurairah Bahwa Rasulallah
Saw bersabda :
للمملوك طعامه
وكسوته
“Bagi Budak belian itu, makanan
dan pakain menurut ma’ruf”.
Dengan jelas kita ketahui, bahwa Malik telah
membuang dari sanad beberapa orang, padahal hadits itu diluar Al-Muwattha’,
Imam Malik meriwayatkan begini ;”dari Muhammad ibn ‘Ajlan, dari ayahnya, dari
Abu Hurairah, dari Nabi Saw” dengan riwayat ini, teranglah telah gugur dua
orang dari sanad. [20]
5.
Hadits Mudallas
Hadits mudallas menurut Drs. Fatchur Rahman (Dosen UIN Sunan Kalijogo)
mendefinisikannya :
ما روي على وجه يوهم انه لا عيب
“Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa
hadits itu tiada bernoda.”
Pada hadits mudallas, rawi yang menggugurkan
pernah bertemu dengan rawi yang digugurkan. Pengguguran itu dimaksudkan agar
aib atau kelemahan hadits dapat tetutupi. Orang yang melakukan tadlis
(perbuatannya) disebut mudallis, dan haditsnya disebut mudallas. [21]
Kebanyakan ahli hadits yang membuat tadlis, ialah
penduduk Kuffah dan sedikit dari penduduk Bashrah. Penduduk Baghdad yang
membuat tadlis hanyalah Abu Bakar Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Sulaiman al-Baghdadi. Dialah orang yang mula-mula membuat tadlis. Para ulama
menolak hadits para mudallis yang mentadlis dari semua orang, terkecuali
riwayat yang terang. Bahwa hadits tersebut, itu benar ada didengar sendiri,
seperti : “akhbarani, haddatsani,dan sami’tu”. Bila ada memakai kata ‘an
(عن), maka riwayat itu ditolak, dianggap tadlis karena
mungkin dia dengar sendiri dan mungkin juga dengar dari orang lain.[22]
b.
Hadits dhaif yang disebabkan cacatnya perawi
hadits antara lain :
1.
Hadits Munkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif dan bertentangan
dengan periwayatan orang kepercayaan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari jalan
Hubaib ibn Habieb, saudara Hamzah ibn Habieb az-Zaiyat al-Murqie, dari Abu
Ishaq, dari Al-‘Aizaar ibn Abbas, dari Nabi Saw bersabda :
من قام الصلاة واتى
الزكاة وحج وصام وقرى الضيف ( اضافه و اكرمه) دخل الجنة
Kata Abu Hatim “Hadits ini mungkar”, menurut riwayat
orang lain dari Hubaib, perkataan ini bukan perkataan Nabi, hanya perkataan
Ibnu Abbas. Hubaib menyandarkan ini kepada Nabi Saw. Dengan karena itu, jadilah
riwayat ini marfu’, padahal sebenarnya atsar mauquf.[23]
2.
Hadits Matruk
Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tertuduh berdusta
(terhadap hadits yang diriwayatkannya)
atau nampak kefasikannya, baik perbuatan atau perkataannya, atau orang yang
banyak lupa atau banyak ragu.[24]
Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Adi katanya : “telah diceritakan kepada kami oleh Yaqub ibn Sufyan ibn
Ashim, telah diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibn Imran, katanya : telah
diceritakan kepada kami oleh Abdurrahim ibn Zaid dari ayahnya dari Said ibn
Al-Musayyib dari Umar ibn Khattab katanya; telah Rasulallah bersabda :
لولا النساء لعبدالله حقا
“Sekiranya tak ada wanita
didunia ini, tentulah hamba Allah menyembah Allah sebenar-benarnya”
Ibnu ‘Aidy mengatakan,
bahwa “Hadits ini matruk, karena Abdurrahim dan ayahnya, dua orang yang matruk
(tak boleh diambil haditsnya).”[25]
3.
Hadits Al-Mudraj
Yaitu hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian
dari) hadits. Tambahan itu bisa saja dari sahabat, tab’in atau komentar perawi.
Tambahan (idraj) itu bisa terjadi dalam matan (di awal atau akhir) dan
dalam sanad.
Cara mengetahui idraj tersebut, adalah dengan : (a). Studi perbandingan
dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain; (b). Ada pernyataan dari
perawi secara jelas; (c). Ahli telaah
hadits menyatakan akan adanya idraj dalam hadits tersebut. Contoh hadits mudraj
pada awal matan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khattab al-Baghdadi,
dari riwayat ibn Quthun dan Syababah, dari Syu’bah, dari Muhammad ibn Ziyad,
dari Abu Hurairah katanya :
قال النبي ص.م اسبغواالوضوءويل
للاعقا ب من النا ر
“Telah berkata Nabi : sempurnakanlah
wudhu-mu. Kecelakaan dari neraka itu, untuk tumit-tumit yang tidak basah”
Perkataan “sempurnakanlah wudhu-mu” , adalah
perkataan Abu Hurairah sendiri.
4. Hadits
Maqlub
Yaitu
hadits yang telah terjadi padanya taqdim dan ta’khir, (yang telah didahulukan
yang kemudian, dan telah dikemudiankan yang terdahulu). Contoh hadits :
ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى لا
تعلم يمينه ما تنفق شما له
Padahal
seharusnya adalah حتى لا تعلم شما له ما تنفق . [26]
5. Hadits
Mudhtarib
Yaitu
hadits yang berlawanan cara-cara periwayatannya, baik perawi-perawi cara itu,
seorang ataupun banyak dengan syarat sebagiannya tidak lebih kuat yang
sebagian. Hadits Fathimah binti Qais.
سالت او سئل النبي ص.م عن الزكاة فقال : ان فى المال لحقا
سوى الزكاة
Demikianlah lafadh-lafadh ini menurut riwayat at-Turmudzi dari Syarik
dari Abu Hamzah, dari asy-Sya’bi dari Fathimah binti Qais. Padahal menurut
riwayat Ibnu Majah yang memakai jalan ini juga berlafadh :
ليس فى المال حق سوى الزكاة
Lafadh yang pertama mengisbatkan hak selain zakat, sedang lafadh kedua,
tidak mengisbatkannya. Karena itu dipandanglah hadits mudhtarib,
berlawan-lawanan, padahal yang meriwayatkannya orang itu juga. Dengan demikian
ditolaklah riwayat ini. [27]
6. Hadits
Syadz
Contoh
syadz dipandang matannya, ialah hadits :
يوم عرفة وايام التشريق ايام اكل وشرب
Hadits ini menurut riwayat orang banyak, tak ada padanya perkataan “Hari
Arafah”. Tambahan ini hanya terdapat dalam riwayat Musa ibn Ali ibn Rabah, dari
ayahnya, dari Uqbah ibn ‘Amir, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu
Abdil Barr. Riwayat Musa dinamai Syadz. Dan riwayat orang dinamai mahfudz.
7. Mu’allal
Yaitu hadits yang terdapat padanya sebab-sebab
yang tak nyata, yang datang kepadanya lalu dicacatnya. Contoh, hadits Ya’la ibn
‘Ubaid, seorang kepercayaan, dari Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amr ibn Dienar, dari
Umar, dari Nabi Saw, sabdanya :
البعيان با لخيا ر ما لم يتفرقا
Padahal sanad hadist ini, sebenarnya ma’lul. Walaupun matannya shahih.
Karena Ya’la ibn Ubaid telah bersalah pada perkataanya : Amr ibn Dienar. Yang
sebenarnya, Abdullah ibn Dienar. Beginilah riwayat segala ahli hadits yang lain
dari Ya’la itu. Dengan demikian jadilah riwayat Ya’la ma’lul.
c.
Selain itu, yang telah disebutkan diatas, ada hadits
dhaif yang terjadi pada matan, antara lain : [28]
1.
Hadits Mauquf
Yaitu hadits yang disandarkan kepada shahaby, dari perkataan atau
pekerjaan, baik bersambung-sambung sanadnya, maupun terputus-putus. Contoh
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hibban, katanya :
كونوا ربانيين حكماء فقهاء علماء
Sebagian ulama memasukkan
hadits mauquf ke dalam hadits dhaif. Menurut
kami, hadits mauquf sama dengan hadits yang marfu’ yakni ada yang shahih, hasan,
dan dhaif. Walaupun tidak dapat berhujjah dengan dia, terkecuali apabila dia dihukumi
marfu’.
2.
Hadits Maqthu’
Yaitu hadits yang disandarkan kepada thabi’in dan thabiit thabi’in, baik
perkataan, pekerjaan, maupun yang seumpamanya.
Ibnu Shalah mengatakan : “saya dapati perkataan
maqthu’ ini dipakai oleh Syafi’i dan Thabarani dalam arti munqathi’”.
Sebenarnya munqathi’ sifat sanad, sedang maqthu’ sifat matan. Al-‘Iraqi
mengatakan bahwa Al-Humaidi dan Ad-Daraquthni memakai maqthu’ dalam arti
munqathi’. Al-Barda’i, dinamakan perkataan tabi’in dengan munqathi’. Dan hadits
maqthu’ ini juga dinamakan atsar. Oleh karena itu hadits mauquf disandarkan
kepada sahabat, hadits maqthu’ disandarkan kepada tabi’i, dan mereka mempunyai
kedudukan ilmiah, [29]perlulah
dipelajari beberapa permasalahan tentang sahabat dan tabi’in.
V.
Kehujahan Hadits Shahih berserta Contohnya
Para ulama’ ahli hadits dan sebagian ulama’ ahli
ushul serta ahli fiqih bersepakat, menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang
wajib beramal. Kesepakatan ini terjadi dalam hal halal atau haramnya sesuatu,
tidak yang berhubungan dengan akidah. Sedangkan sebagian ulama’ menetapkan
bahwa untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dengan dalil-dalil
qath’i (al-Qur’an dan hadits mutawattir) dan tidak dengan hadits ahad.
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih ini
tergantung pada ke-dhabit-an dan keadilan para perawinya. Semakin dhabit dan
adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang
diriwayatkannya.[30]
Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhadditsin membagi menurut martabatnya :
a) Ashahul
Asanid, rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
Contohnya :
انماالاعمال بالنيات وانمالكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya segala amal
itu tergangtung menurut niat yang membangkitkan kita pada mengerjakannya.”
Hadits ini adalah salah satu dari Afradus
Shahih, yang hanya shahih diterima dari Rasul Saw, melalui Umar dan Umar
melalui Al-Qamah, dari Al-Qamah hanya melalui Muhammad ibn Ibrahim At-Taimi,
dari At-Taimi hanya melalui Yahya ibn Said Al-Anshari. Dari Yahya-lah baru
ramai orang meriwayatkannya. Dalam hadits ini, terdapat tiga orang tabi’in,
yaitu Al-Qamah, At-Taimi, dan Yahya.
Imam Bukhari menerima hadits ini, dari
Al-Hamaidi, dari Sufyan, dari Yahya ibn Said Al-Anshari. Sedangkan Imam Muslim
menerima hadits ini, dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Yahya ibn
Said Al-Anshari. Oleh karena itu, hadits
ini sama sebagian besar sanadnya, maka dikatakanlah muttafaq ‘alaihمتفق عليه)) atau
rawahus syaikhani (رواه الشيخان)
b) Hadits
yang dishahihkan oleh Bukhari-Muslim
قال رسول الله ص م ادا سمعتم النداء, فقولوامثل ما
يقول المؤدن
“Bersabdalah Rasulallah Saw, apabila kamu mendengar suara adzan,
maka ucapkanlah sebagaimana apa yang diucapkan oleh mu’adzin”
Hadits ini sampai kepada Imam Bukhari melalui
: Abdullah ibn Yusuf at-Tinnisi, Malik ibn Anas al-Asbahi, Ibnu Syihab
az-Zuhri, Atha’ ibn Yazid al-Laitsi, Abu Said Al-Khudri, dari Rasulallah Saw.
Sedangkan Imam Muslim menerima hadits ini
melalui : Yahya ibn Yahya, Malik ibn Anas al-Asbahi, Ibnu Syihab az-Zuhri,
Atha’ ibn Yazid al-Laitsi, Abu Said Al-Khudri, dari Rasulallah Saw.
c) Hadits
yang dishahihkan oleh Bukhari saja
دخل اعرابي المسجد فصلى ركعتين
فقال: اللهم ارحمني ومحمدا ولاترحم معنااحدا, فالتفت النبي ص م و قال لقد تحرجت
واسعا,ثم لم يلبث ان بال في السمجد فاسرع الناس اليه فقالهم رسول الله ص م : انما
بعثتم ميسرين ولم تبعثوامعسرين هرقواعليه دلوامن ماء(اوسجلا من ماء)
“Seorang Arab Baduwi masuk ke
dalam masjid, lalu shalat 2 rakaat, kemudian mengucapkan: Wahai Tuhanku,
Rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah engkau rahmati bersama kami seseorang
yang lain. Maka berpalinglah Nabi kepadanya seraya bersabda : Demi Allah,
engkau telah menyempitkan yang luas. Kemudian orang baduwi itu berkencing dalam
masjid lalu bersegeralah para sahabat mendekatinya. Karena itu maka Nabi Saw
bersabda kepada sahabat : sesungguhnya kamu dibangkitkan sebagai orang-orang
yang memudahkan, bukan sebagai orang-orang yang menyukarkan, siramilah se ember
air atas tempat kencing itu”
Hadits
ini diterima Imam Bukhari, dari Abul Yaman, Syu’aib, Az-Zuhri, Ubaidullah, Abu
Hurairah, dari Rasulallah Saw.
d) Hadits
yang dishahihkan oleh Muslim saja
Hadits
ini diterangkan oleh Jabir r.a, bahwasanya Nabi Saw bersabda :
قال النبي ص م بين الرجل و بين الشرك
والكفر ترك الصلا ة
“Nabi
Saw bersabda : Antara seseorang dengan syirik dan kufur(kekafiran), ialah
meninggalkan shalat”
Hadits
ini diterima Imam Muslim, dari Abu Ghassan al-Masma’i, Adl Dlahhak ibn Makhlad,
Ibn Juraij, Abu Zubair, Jabir ibn Abdullah, dari Rasulallah Saw.
e) Hadits
shahih yang dishahihkan oleh ulama hadits menurut syarat-syarat Bukhari dan
Muslim
Hadits ini diterangkan oleh Abu Hurairah,
bahwasanya Nabi Saw bersabda :
اداكان اول ليلة من شهر رمضان صفدات الشياطين ومردةالجن وغلقت ابواب النار
فلم يفتح منها باب وفتحت ابواب الجنة فلم يغلق منها باب, وينادى مناد, يا باغي
الخير اقبل, وياباغي الشر اقصر, والله عتقاء من النار, ودالك كل ليلة
“Apabila telah datang malam pertama bulan Ramadhan,
dibelenggulah syaitan, jin-jin yang
terlalu jahat, dan dikuncilah pintu-pintu neraka, tak ada satu pimtu pun yang
terbuka, dan dibukalah pintu-pintu surga, tak ada satu pintu pun yang tertutup,
dan berserulah Malaikat :Hai orang yang menghendaki kebajikan, tingkatkanlah
ibadahmu. Dan hai orang yang menghendaki kejahatan, tahankanlah dirimu dari
berbuat kejahatan. Dan Allah mempunyai beberapa orang yang dimerdekakan dari
api neraka pada setiap malam.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan
dikatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat-syarat Imam Al-Bukhari dan Imam
Muslim.
f) Hadits
yang dishahihkan ulama hadits menurut syarat Bukhari
Hadits ini diterangkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya
Nabi Saw bersabda :
رب
صائم ليس له من صيامه الا الجوع ورب قائم ليس له من قيامه الاالسهر
“Banyak
orang yang berpuasa yang tidak memperoleh dari puasanya, selain pada laparnya.
Dan banyak orang yang beribadah dimalam hari yang tidak memperoleh dari pada
ibadahnya, selain dari pada tidur”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dikatakan bahwa hadits ini shahih menurut
syarat Imam Al-Bukhari
g) Hadits
yang dishahihkan ulama hadits menurut syarat Muslim
Amr bin Syu’aib dari ayahnya (Syu’aib) dari kakeknya
(Abdullah ibn Amr) berkata:
قال رسول الله ص م مروااولادكم بالصلاة ادابلغوا سبعا واضربوهم بها
ادابلغوا عشرا وفرقوا بينهم في المضاجع
“Rasulullah Saw berkata : Suruhlah anak-anakmu bersembahyang,
apabila mereka telah berumur 7 tahun dan pukullah karena meninggalkan
sembahyang. Apabila mereka telah berumur 10 tahun, pisah-pisahkanlah mereka
pada tempat tidur ”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Al-Hakim, hadits ini Shahih berdasarkan syarat Muslim. Berkata Al-Mundziri :
“Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan dikatakan hadits hasan shahih.”
h) Hadits
yang dishahihkan oleh seorang ulama hadits yang selain dari pada penyusun kitab
enam.
Diterangkan oleh Ummu Janub binti Numailah,
bahwasanya Nabi Saw bersabda :
من سبق الى ما لم يسبق عليه مسلم فهو احق به
“Barangsiapa lebih dahulu ke daerah perladangan yang belum
didahului oleh seorang Muslim yang lain, maka dia lebih berhak memiliki perladangan
itu.”
Hadits ini dishahihkan oleh Adl Dliya di dalam
kitab Al-Mukhtarah. Diriwayatkan juga oleh Abu Daud.[31]
VI.
Kehujjahan Hadits Hasan
Jumhur ulama mengatakan
bahwa kehujjahan hadits hasan seperti hadits sahih, walaupun derajatnya tidak
sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadits hasan ini, hasan li
dzatihi, maupun hasan li ghairihi ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim,
Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memberikan penjelasan terlebih
dahulu. [32]
Diriwayatkan dari Ibnu
Abi Hatim : “Saya bertanya kepada ayahku, tentang suatu hadits, Beliau menjawab
: Isnadnya hasan. Kataku : bolehkah kita berhujjah dengan dia?. Beliau menjawab
: Tidak“. Al-Bukhari tidak menerima hadits hasan dalam menetapkan halal dan
haram. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Araby dalam ‘Aridlatul Ahwadzi. Contoh-contoh
kitab yang banyak memuat hadits hasan adalah sunan empat (Sunan Abi Daud, Sunan
Turmudzi, Sunan Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah), Sunan Ad-Daraqutni, Kitab
Al-Baihaqi dan lain-lain.[33]
VII.Kehujjahan Hadits Dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas
berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Syarah An-Nuhbah menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat :
a)
Level
kedhaifannya tidak parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak
jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka
menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan
hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram).
Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk
perkara fadhailul a’mal (keutamaan amal).
b)
Berada di bawah
nash lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu, kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam
fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya
itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus
berada di bawah nash yang sudah shahih.
c)
Ketika
mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh
meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan Beliau.
Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian
datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW. Tetapi ada juga Ulama yang tidak
sependapat tentang pembolehan hadits
dhaif digunakan sebagai dasar. [34]
Al-Bukhari, Muslim, segenap pengikut Daud ibn Ali
Ad-Dhahiry dan Abu Bakar Ibnu Araby Al-Maliky menetapkan bahwa bila tidak boleh
mempergunakan hadits dhaif, walaupun hanya untuk menerangkan keutamaan amal.
Supaya orang tidak meni’tiqadkan suunah pekerjaan yang sebenarnya tiada
disunnahkan, yang kemudian membawa kepada berdusta terhadap Rasul. Rasulallah Saw
bersabda :
من حدث عني بحديث يرى انه كدب فهو احد الكدابين
“Barangsiapa
menceritakan sesuatu dari padaku, padahal ia tahu, bahwa hadits itu bukan
hadits-ku, maka orang itu salah satu seorang pendusta” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Imam Nawawi didalam kitab Al-Adzkar
mengatakan bahwa “Ulama hadits, fuqaha, dan lain-lain membolehkan kita
mempergunakan hadits dhaif untuk fadhail, targhib, dan tarhib. Selama
hadis itu belum sampai kederajat maudhu’.”[35]
VIII. Kesimpulan
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa hadits
menurut kualitas dari periwayat
terbagi menjadi 3 yaitu
Ø
Shahih
adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil
lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah Saw, atau
sahabat atau tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena illat
yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya. Yang dapat dijadikan hujjah dalam
bersunnah.
Ø
Hasan adalah khabar
ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya, bersambung
sanadnya, tidak cacat, dan tidak syadz.
Istilah hadits hasan ini muncul, dimulai oleh Imam Turmudzi, karna banyak
hadits yang peraiwayatnya kurang dhabith. Banyak ulama yang menjadikan hadits
hasan ini, sebagai hujjah, namun tak sedikit pula ulama yang tidak memakai
hadits hasan dalam hujjah tentang hal halal dan haramnya suatu perkara.
Ø Dhaif : yang
tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan. Hadits dhaif ini
dapat dijadikan sebuah hujjah, namun kedudukannya hanya sebatas fadhailul ‘amal
(Keutamaan amal). Bukan dijadikan untuk menetapkan hukum. Adapun syarat
menggunakan hadits dhaif ialah : level
kedhaifannya tidak parah, berada di bawah nash lain yang shahih, ketika
mengamalkannya tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya (bahwa hadits ini, termasuk
yang sering dilakukan Rasulallah Saw).
IX.
Penutup
Dari
pembahasan di atas dapat kita ketahui bersama, bahwa pembagian hadits menurut kualitas periwayat, ada yang dinamakan shahih, hasan, dhaif, yang masing-masig mempunyai fungsi dalam hujjah.
Demikianlah
makalah ini yang kami susun sebagai tugas revisi akhir semester, kami sebagai
pemakalah, menyadari bahwa makalah yang kami sampaikan sangat jauh dari kesempurnaan. Karena
kesempurnaan hanya milik Allah, dan kesalahan milik kami. Maka dari itu,
perkenankanlah kami, meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki
makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca. Amien
Dan
akhir kata, pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa
sistematika penyusunan, maupun isi serta penyampaian makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiedieqy Prof. Dr. T.M. Hasbi. 1987.Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama.Jakarta : Bulan
Bintang.
Solahudin M. Agus Suyadi. 2009. Ulumul
Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Suparta, Drs.Munzier. 1993. Ilmu Hadis. Jakarta : Raja
Grafido Persada.
ash-Shalih, Dr.Subhi. 1993. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Anwar, Moh. 1981. Ilmu Musthalah hadits.
Surabaya : Al-Ikhlas.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2009. Ilmu Ushul
Hadis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
[1] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan
Bintang,1987), hlm : 109
hlm : 142-144
hlm : 134-136
[7] Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta :
Bulan Bintang,1987), hlm : 161
[9] Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta :
Bulan Bintang,1987), hlm : 161
[10]M.Solahudin, Agus Suyadi , Ulumul Hadis, (Bandung
: Pustaka Setia,2009), hlm : 146
[11] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu
Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),hlm : 145
hlm : 145
[14] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan
Bintang,1987), hlm : 166, 170
hlm : 145-147
[16]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah hadits, ( Surabaya :
Al-Ikhlas, 1981), hal 94
hlm : 153, 154
hlm : 148
hlm : 155
[20] Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta :
Bulan Bintang,1987), hlm : 254-258
hlm : 158
[22] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan
Bintang,1987), hlm : 253
[23] Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta :
Bulan Bintang,1987), hlm : 264-265
[25] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan
Bintang,1987), hlm : 264
[27] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan
Bintang,1987), hlm : 280-282
[29] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan
Bintang,1987), hlm : 268, 269, 272, 311-319.
[31] Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta :
Bulan Bintang,1987), hlm : 139-150
[32] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009),
hlm: 63
[33] Prof. Dr. T.M. Hasbi
Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta :
Bulan Bintang,1987), hlm : 169,177
[34] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,
(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009), hlm: 64-65
[35]Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok
Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan
Bintang,1987), hlm : 230
Tidak ada komentar:
Posting Komentar