Selasa, 15 Oktober 2013

PEMBAGIAN HADITS MENURUT KUALITAS PERIWAYAT






MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata kuliah : Ulumul Hadits
Dosen pengampu : Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, M.A.




Disusun Oleh :
1.   Muhamad Aniq                               123211054
2.   Muhammad Daris Fithon               123211055
3.   Muhammad Fikri Yuniar Sholeh    123211056


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
I.     Pendahuluan
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an, hadits menempati posisi yang sangat penting dan strategis di dalam kajian-kajian ke-Islaman. Umat Islam harus mempunyai dasar dalam berkehidupan, karena semua kehidupan bersangkutan dengan hukum syari’at. Namun kenyataan yang terjadi, hadits-hadits yang seharusnya suci,  banyak beredar hadits yang dipalsukan, yang telah beredar dikalangan umat Islam.
Para ulama zaman klasik (Salafus Sholihin), melakukan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits yang mereka dapat, sehingga dapat dipilah mana hadits yang benar-benar berasal dari Nabi Saw, mana yang bukan?.
Agar dalam berkehidupan kita memenuhi aturan yang berlaku di dalam agama Islam sekaligus kita mendapatkan rahmat dari Allah dan syafa’at dari Rasulullah.
Untuk itu, Ulama hadits membuat kaidah-kaidah, acuan-acuan, dan ketentuan untuk menentukan keshahihan hadits tersebut. Dalam pembahasan ini, kami akan membahas kualitas hadits berdasarkan periwayat yang meriwayatkan hadis tersebut. Antara lain pembahasanya meliputi :
A.  Apa Pengertian Hadits shahih dan pembagianya?
B.   Apa pengertian Hadits hasan, pembagian beserta contohnya ?
C.   Apa pengertian Hadits dhaif, pembagian beserta contohnya ?
D.  Apakah kehujjahan hadits shahih dan contohnya ?
E.   Apakah kehujjahan hadits hasan ?
F.    Apakah kehujjahan hadits dhaif ?
Hadits ditinjau dari segi kualitas periwayat yang meriwayatkannya, terbagi dalam tiga macam, yaitu shahih, hasan, dan dhaif.

II.  Pengertian Hadits Shahih dan Pembagiannya
Shahih menurut lughot adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan bathil.[1] Menurut ulama ahli hadits, hadis shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah Saw, atau sahabat atau tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.
Definisi lain, hadits shahih adalah :
مانقله عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولاشاد
“Hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi-rawi yang adil,sempurna ingatannya, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber-illat, dan tidak janggal.”[2]
Untuk mengetahui bagaimana kategori hadits itu dikatakan shahih ataupun bukan? Hadits yang dapat dijadikan pedoman maupun sumber sebuah hukum atau bukan?
Menurut muhaditsin, suatu hadits dapat dinilai shahih, apabila memenuhi syarat-syarat hadits shahih sebagai berikut :
a)    Rawinya bersifat adil
Menurut Syuhudi Ismail, kriteria-kriteria periwayat yang bersifat adil, adalah :
Ø Beragama Islam
Ø Berstatus mukallaf
Ø Melaksanakan ketentuan-ketentuan agama
Ø Memelihara muru’ah
b)    Rawinya bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat menguasai hadisnya dengan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkannya kembali ketika meriwayatkannya.[3]
Yang dicakup oleh pengertian dhabit dalam periwayatannya disini ada dua kategori, yaitu dhabit fi al-shadri ialah terpeliharanya periwayatan dalam ingatan, sejak menerima hadits sampai meriwayatkan kepada orang lain. Sedangkan dhabit fi al-kitab, ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan. Kedhabitan seorang perawi, tidak berarti ia terhindar sama sekali dari kekeliruan atau kesalahan. Mungkin kekeliruan itu sesekali terjadi. Yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang kurang kuat ingatannya.[4]
c)    Sanadnya bersambung
Yang dimaksud disini adalah bahwa setiap rawi hadis yang bersangkutan benar-benar menerimanya dari rawi yang berada diatasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara yang pertama.
Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata cara penelitian berikut :
Ø Mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti
Ø Mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi
Ø Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dengan sanad.
d)   Tidak ber-‘illat
Maksudnya bahwa hadits yang bersangkutan terbebas dari cacat keshahihannya, yakni hadits itu terbatas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukkan adanya cacat tersebut.
e)    Tidak syadz (janggal)
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam ke-dhabit-an atau adanya segi-segi tarjih yang lain.[5]
Para ulama hadits, membagi hadits shahih menjadi dua macam, yaitu :
a)    Shahih li Dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat lima, sebagaimana yang disebutkan diatas.
Contoh hadits Shahih li dzatihi:
لولاان اشق على امتى او على الناس لامرتهم بالسواك مع كل صلاة
Hadits ini diriwayatkan melalui jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah.
b)   Shahih li Ghairihi, yaitu hadits yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat sebuah hadits maqbul.
Hal itu bisa terjadi karena ada beberapa hal, misalnya saja perawinya sudah diketahui adil tapi dari sisi ke-dhabit-annya, ia dinilai kurang. Hadits ini menjadi shahih karena ada hadits lain yang sama atau sepadan (redaksinya) diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau malah lebih shahih.
Hadits dibawah ini merupakan contoh hadits hasan li dzatihi yang naik derajatnya menjadi Shahih li Ghairihi:
لولاان اشق على امتى او على الناس لامرتهم بالسواك مع كل صلاة
“Andaikan tidak memberatkan pada umatku, niscaya akan kuperintahkan bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan sholat”(HR. Bukhari).
Menurut Ibnu al-Shalah, bahwa Muhammad bin Amr adalah terkenal sebagai orang yang jujur, akan tetapi ke-dhabit-annya kurang sempurna, sehingga hadits riwayatnya hanya sampai tingkat hasan. Hadits tersebut pada mulanya adalah hasan li dzatih. Karena ada riwayat lain yang lebih tsiqqah-seperti hadits riwayat al-Bukhari yang diriwiyatkan melalui jalur al-A’raj pada contoh hadits shahih lidzatih. Maka hadits hasan tersebut naik menjadi shahih li ghairih.
Jadi pebedaan antara kedua bagian hadits ini terletak pada segi ke-dhabit-an perawinya. Pada shahih li dzatihi ingatan perawinya sempurna, sedang pada hadits shahih li ghairihi, ingatan perawinya kurang sempurna (qalil al-dhabith).[6]


III.   Pengertian Hadits Hasan, Pembagian dan Contohnya
Terkadang terdapat sedikit kekurangan pada sesuatu sanad hadits. Umpamanya, kurang kuat ingatan perawinya. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang kurang kuat hafalannya, dinamakan “hadits hasan”, yaitu suatu derajat antara shahih dengan dhaif.[7]
Hasan, menurut lughat adalah sifat musyabahah dari Al-Husna, artinya bagus. Menurut Ibnu Hajar al-Asqolany, hadits hasan adalah :
خيرالاحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولاشاد
“khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak  syadz”[8]
Ulama yang mula-mula memakai istilah hasan, ialah Abu Isa at-Turmudzi. Walaupun kalimat hasan sudah terdapat dalam kalangan ulama-ulama sebelum Turmudzi, namun belum dipandang sebagai suatu bagian hadits.  Para ulama sebelumnya membagi hadits pada dua bagian saja, seperti yang telah ditegaskan Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah, yaitu shahih dan dhaif. Yang dhaif dalam tanggapan Ulama sebelum Turmudzi adalah yang diistilahkan dengan hasan oleh Turmudzi. Yang benar-benar lemah, di istilahkan dengan wahi.[9]
Untuk membedakan antara hadits shahih dan hadits hasan, kita harus mengetahui batasan dari kedua hadits tersebut. Batasannya adalah keadilan pada hadits hasan yang disandang oleh orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadits shahih terdapat rawi-rawi yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan penyakit. Keduanya bisa digunakan sebagai hujjah dan kandungannya dapat dijadikan penguat.[10]
Sebagaimana hadits shahih yang mempunyai syarat-syarat bahwa sebuah hadits dapat dikategorikan dalam golongan hadits shahih. Dalam hadits hasan pun, ada beberapa syarat untuk dikategorikan dalam hadits hasan, syarat-syaratnya yaitu :
1.      Sanadnya bersambung
2.      Perawinya adil
3.      Perawinya dhabit, tetapi kualitas ke-dhabit-annya dibawah ke-dhabit-an perawi hadits shahih
4.      Idak terdapat kejanggalan atau syadz, dan
5.      Tidak ber’illat.[11]

Para ulama hadits, membagi hadits hasan menjadi dua bagian, yaitu :
a)      Hadits Hasan li Dzatih
Hadits hasan li dzatih, ini bisa baik derajatnya menjadi hadits shahih (li ghairih) bila ada hadits lain yang sejenis diriwayatkan melalui jalur sanad yang lain.[12]
Jadi, apabila haditsnya diriwayatkan pula dari sumber lain, meskipun hanya satu sumber hadits tersebut akan menjadi kuat dan kehilangan kekuatiran bahwa perawinya buruk ingatan. Dengan demikian, hadits nya pun naik dari tingkat hasan ke tingkatan shahih. Contohnya :
لولاان اشق على امتى او على الناس لامرتهم بالسواك مع كل صلاة
Matan hadits tersebut memiliki jalur sanad : Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abu Hurairah dari Rasulullah Saw. Muhammad bin Amr diragukan hafalan, kekuatan ingatan dan kecerdasannya, meskipun banyak pula yang menganggapnya terpercaya. Hadits ini bersifat hasan lidzatih dan shahih ligahirih, karena diriwayatkan pula dari guru Muhammad dan dari gurunya lagi. Hadits itu juga diriwayatkan dari Abu Hurairah oleh banyak orang, diantaranya Al-A’raj bin Hurmuz dan Sa’ad al-Maqbari. [13]Maka hadits ini, naik derajatnya menjadi shahih li ghairih.
b)      Hadits Hasan li Ghairih
Secara singkat, hasan li ghairih ini terjadi dari hadits dhaif jika banyak periwayatannya, sementara para perawinya tidak diketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi mereka tidak sampai kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek lainnya. Begitulah para ulama memberikan batasan hadits jenis ini, termasuk Ath-Thibi yang berkata : “Hadits hasan adalah hadits musnad yang dekat kepada derajat kepercayaan, atau mursal orang yang kepercayaan masing-masingnya, diriiwayatkan dari banyak jalan dan sejahtera dari syudzuz dan illat.” Contoh hadits hasan, Abdullah ibn Amr ibn Rabi’ah meriwayatkan dari ayahnya, bahwasanya seorang wanita kaum Fazarah berkawin dengan mahar sepasang sepatu, lalu Rasul Saw bersabda :
ارضيت من نفسك و مالك بنعلين ؟ قالت : نعم, فاجاز
“Apakah engkau suka menyerahkan diri dan harta engkau dengan sepasang sepatu? Perempuan tersebut menjawab : . . .Bahkan, maka Nabi Saw pun membenarkannya.”
Hadits ini diriwayatkan at-Turmudzi, dari Syu’bah, dari ‘Ashim ibn Ubaidullah, dari Abdullah ibn Amr. As-Suyuti mengatakan bahwa : “Ashim ini dhaif, lantaran lemah hafalannya”. Dalam pada itu, dipandang hadits ini hasan li ghairih, karena mempunyai jalan yang lain dari itu. [14]
Jadi, sistem periwayatannya terutama syarat-syarat keshahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi para perawinya dikenal sebagai orang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau banyak berbuat dosa.
Jadi, hadits dhaif yang bisa naik kedudukannya menjadi hadits hasan ini, hanyalah hadits-hadits yang tidak terlalu lemah. Sementara hadits-hadits yang sangat lemah, seperti hadits maudhu’, hadits munkar, dan hadits matruk, betapapun adanya syahid dan muttabi’, kedudukannya tetap sebagai hadits dha’if, tidak bisa berubah menjadi hadits hasan.[15]
IV.   Pengertian, Pembagian Hadits Dhaif dan Contohnya
Menurut bahasa berarti lemah atau lawan qowiyyu yang berarti kuat. Sedangkan menurut istilah : yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan. Dengan secara tegas, hadits dhaif ialah yang didapati padanya sesuatu yang menyebabkan ditolaknya hadits.
Hadits dhaif apabila ditinjau dari segi sebab-sebab kedhaifannya, maka dia dibagi kepada dua bagian : pertama, karena terdapat keguguran perawi dalam sanadnya (Sebab terputusnya sanad); kedua, karena terdapat sesuatu yang menyebabkan dicacat perawinya. [16]
Para ulama hadits, berdasarkan sebab-sebab diatas, maka macam-macam hadits dhaif ini dikelompokkan sebagai berikut :
a.    Pembagian hadits dhaif sebab terputusnya sanad (keguguran perawi dalam sanad) dan contohnya , seperti :
1.    Hadits Mu’allaq
Mu’allaq menurut berarti yang dibuang awal sanadnya, baik yang dibuang itu seorang atau banyak walaupun sampai akhir sanad. Sebagai contoh, Bukhari meriwayatkan hadits dari Bahz ibn Hakim dari Bapaknya dan dari Kakeknya, bahwa Nabi bersabda :
الله احق ان يستحيى من الناس
Allah itu lebih berhak untuk dijadikan tempat mengadu malu daripada manusia.
Hadits diatas dalam sanad Abu Daud adalah ia menerima dari Abdullah ibn Maslamah, dari Ubay, dari Bahz ibn Hakim dan seterusnya. Ini berarti Imam Bukhari dalam kitab shahihnya menta’liqkan kira-kira dua orang perawi.
Hadits mu’allaq bisa dianggap shahih bila sanad yang digugurkan itu disebutkan oleh hadits yang bersanad lain. Dalam shahih Bukhari sendiri, ada 1.341 hadits mu’allaq, sedang dalam shahih Muslim ada 3 buah hadits. Maksud mereka menta’liqkan dalam sanad tersebut untuk meringkas dan menghindari perulangan sanad. Dalam shahih Bukhari, jika ia meggunakan sighat al-jazm (ungkapan yang pasti) seperti qala, fa’ala, amara dan dzakara fulanun maka dihukumi hadits shahih. Sedangkan bila memakai sighat yurwa, yudzkaru, yuha, dzukira, dan hukiya fulanun maka dihukumi hadits dhaif.[17]   
2.    Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang mutlak marfu’ tabi’i besar atau kecil, dan disandarkan kepada Nabi Saw. Sebab kedhaifannya, karena tidak adanya kesinambungan dalam sanad. Disebut mursal, karena perawinya melepas hadits tanpa mengikatnya dengan sahabat yang menerimanya dari Rasulullah.[18]
Tabi’in tidak menyebutkan bahwa ia menerima hadits itu dari sahabat, melainkan mengatakannya dari Rasul Saw. Ada dua macam mursal :
a)    Mursal al-jali, yaitu tidak disebutkannya (gugur) nama sahabat tersebut dilakukan oleh sahabat besar.
Contoh hadits yang diriwayatkan oleh Malik, dari Abdurrahman Harmalah, dari Said ibn Al-Musaiyab, bahwa Nabi bersabda :
بينناوبين المنافقين شهودالعشاء والصبح, لايستطيعون
“Perbedaan antara kami dan orang munafik ialah berjamaa’ah isya’ dan subuh, sedangkan mereka tidak sanggup mengerjakanya”
b)   Mursal al-khafi
Pengguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil. Hal ini terjadi karena hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tersebut meskipun ia hidup sezaman sahaby, tetapi ia  tidak pernah mendengar sebuah hadits pun daripadanya.  
Termasuk juga ke dalam hadits mursal ini, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dari Rasulallah (karena mungkin ia masih kecil atau tidak ada pada majlis Rasul saat hadits itu diwurudkan), akan tetapi dikatakannya bahwa ia menerima hadits itu dari Rasulallah Saw. Para ulama hadits menyebutnya mursal al-shahaby.[19]
3.    Hadits Munqati’
Munqati’ berarti Hadits yang telah gugur seorang perawi dari sanad  sebelum sahaby, atau telah gugur dua orang perawi dari sanad,  dengan syarat tidak berurut-urut. Contohnya diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibn Abi Syaibah, dari Ismail ibn Ibrahim, dari Laits, dari Abdillah ibn Al Hasan ibn Ali, dari Ibunya Fathimah binti Al Husain ibn Ali dari Fatimah Az-Zahra, puteri Rasulallah Saw berkata :
كان رسول الله صلى الله ص م إذادخل المسجد قال بسم اللّه والسلام علي رسول الله اللهمّ اغفرلي ذنو بي وافتح لي ابواب رحمتك
Adalah Nabi SAW, apabila masuk ke dalam masjid, beliau membaca : Bismillah wa salamu ala rasulillah. Allahumma ighfirli dzunubi wa iftah li abwaba rahmatika.”
        Menurut Ibnu Majah, “Hadits ini munqathi’, telah gugur seorang perawi dari sanadnya”. Diketahui hal yang demikian ini, ialah dengan karena Fathimah binti Al Husain (Ibu Abdullah ibn Al-Husain) itu tiada bertemu dengan Fatimah Az-Zahra. Demikianlah dhaifnya hadits ini.
4.    Hadits Mu’dal
Yang dimaksud mu’dal adalah hadits gugurnya dua orang perawi secara berturut-turut dan dimanapun saja. Contoh Al-Iraqi mengatakan : Abu Nashir telah memberi contoh mu’dhal dengan perkataan Malik dalam Al-Muwattha’ : ”Telah sampai kepadaku dari Abu Hurairah Bahwa Rasulallah Saw bersabda :
للمملوك طعامه وكسوته
“Bagi Budak belian itu, makanan dan pakain menurut ma’ruf”.
Dengan jelas kita ketahui, bahwa Malik telah membuang dari sanad beberapa orang, padahal hadits itu diluar Al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan begini ;”dari Muhammad ibn ‘Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw” dengan riwayat ini, teranglah telah gugur dua orang dari sanad. [20]  
5.    Hadits Mudallas
Hadits mudallas menurut Drs. Fatchur Rahman (Dosen UIN Sunan Kalijogo) mendefinisikannya :
ما روي على وجه يوهم انه لا عيب
“Hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan, bahwa hadits itu tiada bernoda.”
Pada hadits mudallas, rawi yang menggugurkan pernah bertemu dengan rawi yang digugurkan. Pengguguran itu dimaksudkan agar aib atau kelemahan hadits dapat tetutupi. Orang yang melakukan tadlis (perbuatannya) disebut mudallis, dan haditsnya disebut mudallas. [21]
Kebanyakan ahli hadits yang membuat tadlis, ialah penduduk Kuffah dan sedikit dari penduduk Bashrah. Penduduk Baghdad yang membuat tadlis hanyalah Abu Bakar Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Sulaiman al-Baghdadi. Dialah orang yang mula-mula membuat tadlis. Para ulama menolak hadits para mudallis yang mentadlis dari semua orang, terkecuali riwayat yang terang. Bahwa hadits tersebut, itu benar ada didengar sendiri, seperti : “akhbarani, haddatsani,dan sami’tu”. Bila ada memakai kata ‘an (عن), maka riwayat itu ditolak, dianggap tadlis karena mungkin dia dengar sendiri dan mungkin juga dengar dari orang lain.[22]
b.    Hadits dhaif yang disebabkan cacatnya perawi hadits antara lain :
1.    Hadits Munkar
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dhaif dan bertentangan dengan periwayatan orang kepercayaan.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dari jalan Hubaib ibn Habieb, saudara Hamzah ibn Habieb az-Zaiyat al-Murqie, dari Abu Ishaq, dari Al-‘Aizaar ibn Abbas, dari Nabi Saw bersabda :
من قام الصلاة واتى الزكاة وحج وصام وقرى الضيف ( اضافه و اكرمه) دخل الجنة
Kata Abu Hatim “Hadits ini mungkar”, menurut riwayat orang lain dari Hubaib, perkataan ini bukan perkataan Nabi, hanya perkataan Ibnu Abbas. Hubaib menyandarkan ini kepada Nabi Saw. Dengan karena itu, jadilah riwayat ini marfu’, padahal sebenarnya atsar mauquf.[23]
2.    Hadits Matruk
Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang yang tertuduh berdusta (terhadap  hadits yang diriwayatkannya) atau nampak kefasikannya, baik perbuatan atau perkataannya, atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.[24]
Sebagai contoh, hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi katanya : “telah diceritakan kepada kami oleh Yaqub ibn Sufyan ibn Ashim, telah diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibn Imran, katanya : telah diceritakan kepada kami oleh Abdurrahim ibn Zaid dari ayahnya dari Said ibn Al-Musayyib dari Umar ibn Khattab katanya; telah Rasulallah bersabda : 
لولا النساء لعبدالله حقا
“Sekiranya tak ada wanita didunia ini, tentulah hamba Allah menyembah Allah sebenar-benarnya”
Ibnu ‘Aidy mengatakan, bahwa “Hadits ini matruk, karena Abdurrahim dan ayahnya, dua orang yang matruk (tak boleh diambil haditsnya).”[25]
3.    Hadits Al-Mudraj
Yaitu hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan, padahal bukan (bagian dari) hadits. Tambahan itu bisa saja dari sahabat, tab’in atau komentar perawi. Tambahan (idraj) itu bisa terjadi dalam matan (di awal atau akhir) dan dalam sanad.
Cara mengetahui idraj tersebut, adalah dengan : (a). Studi perbandingan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi lain; (b). Ada pernyataan dari perawi  secara jelas; (c). Ahli telaah hadits menyatakan akan adanya idraj dalam hadits tersebut. Contoh hadits mudraj pada awal matan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Khattab al-Baghdadi, dari riwayat ibn Quthun dan Syababah, dari Syu’bah, dari Muhammad ibn Ziyad, dari Abu Hurairah  katanya :
قال النبي ص.م اسبغواالوضوءويل للاعقا ب من النا ر
“Telah berkata Nabi : sempurnakanlah wudhu-mu. Kecelakaan dari neraka itu, untuk tumit-tumit yang tidak basah”
Perkataan “sempurnakanlah wudhu-mu” , adalah perkataan Abu Hurairah sendiri.
4.    Hadits Maqlub
Yaitu hadits yang telah terjadi padanya taqdim dan ta’khir, (yang telah didahulukan yang kemudian, dan telah dikemudiankan yang terdahulu). Contoh hadits :
ورجل تصدق بصدقة اخفاها حتى لا تعلم يمينه ما تنفق شما له
Padahal seharusnya adalah حتى لا تعلم شما له ما تنفق . [26]
5.    Hadits Mudhtarib
Yaitu hadits yang berlawanan cara-cara periwayatannya, baik perawi-perawi cara itu, seorang ataupun banyak dengan syarat sebagiannya tidak lebih kuat yang sebagian. Hadits Fathimah binti Qais.
سالت او سئل النبي ص.م عن الزكاة فقال : ان فى المال لحقا سوى الزكاة
Demikianlah lafadh-lafadh ini menurut riwayat at-Turmudzi dari Syarik dari Abu Hamzah, dari asy-Sya’bi dari Fathimah binti Qais. Padahal menurut riwayat Ibnu Majah yang memakai jalan ini juga berlafadh :
ليس فى المال حق سوى الزكاة
Lafadh yang pertama mengisbatkan hak selain zakat, sedang lafadh kedua, tidak mengisbatkannya. Karena itu dipandanglah hadits mudhtarib, berlawan-lawanan, padahal yang meriwayatkannya orang itu juga. Dengan demikian ditolaklah riwayat ini. [27]
6.    Hadits Syadz
Contoh syadz dipandang matannya, ialah hadits :
يوم عرفة وايام التشريق ايام اكل وشرب
Hadits ini menurut riwayat orang banyak, tak ada padanya perkataan “Hari Arafah”. Tambahan ini hanya terdapat dalam riwayat Musa ibn Ali ibn Rabah, dari ayahnya, dari Uqbah ibn ‘Amir, sebagaimana yang telah diterangkan oleh Ibnu Abdil Barr. Riwayat Musa dinamai Syadz. Dan riwayat orang dinamai mahfudz. 
7.    Mu’allal
Yaitu hadits yang terdapat padanya sebab-sebab yang tak nyata, yang datang kepadanya lalu dicacatnya. Contoh, hadits Ya’la ibn ‘Ubaid, seorang kepercayaan, dari Sufyan ats-Tsauri, dari ‘Amr ibn Dienar, dari Umar, dari Nabi Saw, sabdanya :
البعيان با لخيا ر ما لم يتفرقا
Padahal sanad hadist ini, sebenarnya ma’lul. Walaupun matannya shahih. Karena Ya’la ibn Ubaid telah bersalah pada perkataanya : Amr ibn Dienar. Yang sebenarnya, Abdullah ibn Dienar. Beginilah riwayat segala ahli hadits yang lain dari Ya’la itu. Dengan demikian jadilah riwayat Ya’la ma’lul.  
c.    Selain itu, yang telah disebutkan diatas, ada hadits dhaif yang terjadi pada matan, antara lain : [28]
1.    Hadits Mauquf
Yaitu hadits yang disandarkan kepada shahaby, dari perkataan atau pekerjaan, baik bersambung-sambung sanadnya, maupun terputus-putus. Contoh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Ibnu Hibban, katanya :
كونوا ربانيين حكماء فقهاء علماء
Sebagian ulama memasukkan hadits mauquf ke dalam hadits dhaif. Menurut  kami, hadits mauquf sama dengan hadits yang marfu’ yakni ada yang shahih, hasan, dan dhaif. Walaupun tidak dapat berhujjah dengan dia, terkecuali apabila dia dihukumi marfu’.
2.    Hadits Maqthu’
Yaitu hadits yang disandarkan kepada thabi’in dan thabiit thabi’in, baik perkataan, pekerjaan, maupun yang seumpamanya.
Ibnu Shalah mengatakan : “saya dapati perkataan maqthu’ ini dipakai oleh Syafi’i dan Thabarani dalam arti munqathi’”. Sebenarnya munqathi’ sifat sanad, sedang maqthu’ sifat matan. Al-‘Iraqi mengatakan bahwa Al-Humaidi dan Ad-Daraquthni memakai maqthu’ dalam arti munqathi’. Al-Barda’i, dinamakan perkataan tabi’in dengan munqathi’. Dan hadits maqthu’ ini juga dinamakan atsar. Oleh karena itu hadits mauquf disandarkan kepada sahabat, hadits maqthu’ disandarkan kepada tabi’i, dan mereka mempunyai kedudukan ilmiah, [29]perlulah dipelajari beberapa permasalahan tentang sahabat dan tabi’in.


V.  Kehujahan Hadits Shahih berserta Contohnya
Para ulama’ ahli hadits dan sebagian ulama’ ahli ushul serta ahli fiqih bersepakat, menjadikan hadits shahih sebagai hujjah yang wajib beramal. Kesepakatan ini terjadi dalam hal halal atau haramnya sesuatu, tidak yang berhubungan dengan akidah. Sedangkan sebagian ulama’ menetapkan bahwa untuk menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan akidah dengan dalil-dalil qath’i (al-Qur’an dan hadits mutawattir) dan tidak dengan hadits ahad.
Perlu diketahui bahwa martabat hadits shahih ini tergantung pada ke-dhabit-an dan keadilan para perawinya. Semakin dhabit dan adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadits yang diriwayatkannya.[30]
Berdasarkan martabat seperti ini, para muhadditsin membagi menurut martabatnya :
a)    Ashahul Asanid, rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya.
Contohnya :
انماالاعمال بالنيات وانمالكل امرئ ما نوى
“Sesungguhnya segala amal itu tergangtung menurut niat yang membangkitkan kita pada mengerjakannya.”
Hadits ini adalah salah satu dari Afradus Shahih, yang hanya shahih diterima dari Rasul Saw, melalui Umar dan Umar melalui Al-Qamah, dari Al-Qamah hanya melalui Muhammad ibn Ibrahim At-Taimi, dari At-Taimi hanya melalui Yahya ibn Said Al-Anshari. Dari Yahya-lah baru ramai orang meriwayatkannya. Dalam hadits ini, terdapat tiga orang tabi’in, yaitu Al-Qamah, At-Taimi, dan Yahya.
Imam Bukhari menerima hadits ini, dari Al-Hamaidi, dari Sufyan, dari Yahya ibn Said Al-Anshari. Sedangkan Imam Muslim menerima hadits ini, dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Yahya ibn Said Al-Anshari.    Oleh karena itu, hadits ini sama sebagian besar sanadnya, maka dikatakanlah muttafaq ‘alaihمتفق عليه)) atau  rawahus syaikhani (رواه الشيخان)
b)   Hadits yang dishahihkan oleh Bukhari-Muslim
قال رسول الله ص م ادا سمعتم النداء, فقولوامثل ما يقول المؤدن
“Bersabdalah Rasulallah Saw, apabila kamu mendengar suara adzan, maka ucapkanlah sebagaimana apa yang diucapkan oleh mu’adzin”
Hadits ini sampai kepada Imam Bukhari melalui : Abdullah ibn Yusuf at-Tinnisi, Malik ibn Anas al-Asbahi, Ibnu Syihab az-Zuhri, Atha’ ibn Yazid al-Laitsi, Abu Said Al-Khudri, dari Rasulallah Saw.
Sedangkan Imam Muslim menerima hadits ini melalui : Yahya ibn Yahya, Malik ibn Anas al-Asbahi, Ibnu Syihab az-Zuhri, Atha’ ibn Yazid al-Laitsi, Abu Said Al-Khudri, dari Rasulallah Saw.
c)    Hadits yang dishahihkan oleh Bukhari saja
دخل اعرابي المسجد فصلى ركعتين فقال: اللهم ارحمني ومحمدا ولاترحم معنااحدا, فالتفت النبي ص م و قال لقد تحرجت واسعا,ثم لم يلبث ان بال في السمجد فاسرع الناس اليه فقالهم رسول الله ص م : انما بعثتم ميسرين ولم تبعثوامعسرين هرقواعليه دلوامن ماء(اوسجلا من ماء)
“Seorang Arab Baduwi masuk ke dalam masjid, lalu shalat 2 rakaat, kemudian mengucapkan: Wahai Tuhanku, Rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah engkau rahmati bersama kami seseorang yang lain. Maka berpalinglah Nabi kepadanya seraya bersabda : Demi Allah, engkau telah menyempitkan yang luas. Kemudian orang baduwi itu berkencing dalam masjid lalu bersegeralah para sahabat mendekatinya. Karena itu maka Nabi Saw bersabda kepada sahabat : sesungguhnya kamu dibangkitkan sebagai orang-orang yang memudahkan, bukan sebagai orang-orang yang menyukarkan, siramilah se ember air atas tempat kencing itu”
Hadits ini diterima Imam Bukhari, dari Abul Yaman, Syu’aib, Az-Zuhri, Ubaidullah, Abu Hurairah, dari Rasulallah Saw.
d)   Hadits yang dishahihkan oleh Muslim saja
Hadits ini diterangkan oleh Jabir r.a, bahwasanya Nabi Saw bersabda :
قال النبي ص م بين الرجل و بين الشرك والكفر ترك الصلا ة
“Nabi Saw bersabda : Antara seseorang dengan syirik dan kufur(kekafiran), ialah meninggalkan shalat”
Hadits ini diterima Imam Muslim, dari Abu Ghassan al-Masma’i, Adl Dlahhak ibn Makhlad, Ibn Juraij, Abu Zubair, Jabir ibn Abdullah, dari Rasulallah Saw.
e)    Hadits shahih yang dishahihkan oleh ulama hadits menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim
Hadits ini diterangkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Saw bersabda :
اداكان اول ليلة من شهر رمضان صفدات الشياطين ومردةالجن وغلقت ابواب النار فلم يفتح منها باب وفتحت ابواب الجنة فلم يغلق منها باب, وينادى مناد, يا باغي الخير اقبل, وياباغي الشر اقصر, والله عتقاء من النار, ودالك كل ليلة
“Apabila telah datang malam pertama bulan Ramadhan, dibelenggulah syaitan,  jin-jin yang terlalu jahat, dan dikuncilah pintu-pintu neraka, tak ada satu pimtu pun yang terbuka, dan dibukalah pintu-pintu surga, tak ada satu pintu pun yang tertutup, dan berserulah Malaikat :Hai orang yang menghendaki kebajikan, tingkatkanlah ibadahmu. Dan hai orang yang menghendaki kejahatan, tahankanlah dirimu dari berbuat kejahatan. Dan Allah mempunyai beberapa orang yang dimerdekakan dari api neraka pada setiap malam.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dikatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat-syarat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
f)    Hadits yang dishahihkan ulama hadits menurut syarat Bukhari
Hadits ini diterangkan oleh Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Saw bersabda :
   رب صائم ليس له من صيامه الا الجوع ورب قائم ليس له من قيامه الاالسهر
“Banyak orang yang berpuasa yang tidak memperoleh dari puasanya, selain pada laparnya. Dan banyak orang yang beribadah dimalam hari yang tidak memperoleh dari pada ibadahnya, selain dari pada tidur”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hakim dan dikatakan bahwa hadits ini shahih menurut syarat Imam Al-Bukhari
g)   Hadits yang dishahihkan ulama hadits menurut syarat Muslim
Amr bin Syu’aib dari ayahnya (Syu’aib) dari kakeknya (Abdullah ibn Amr) berkata:
قال رسول الله ص م مروااولادكم بالصلاة ادابلغوا سبعا واضربوهم بها ادابلغوا عشرا وفرقوا بينهم في المضاجع
“Rasulullah Saw berkata : Suruhlah anak-anakmu bersembahyang, apabila mereka telah berumur 7 tahun dan pukullah karena meninggalkan sembahyang. Apabila mereka telah berumur 10 tahun, pisah-pisahkanlah mereka pada tempat tidur ”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Hakim, hadits ini Shahih berdasarkan syarat Muslim. Berkata Al-Mundziri : “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dan dikatakan hadits hasan shahih.”
h)   Hadits yang dishahihkan oleh seorang ulama hadits yang selain dari pada penyusun kitab enam.
Diterangkan oleh Ummu Janub binti Numailah, bahwasanya Nabi Saw bersabda :
من سبق الى ما لم يسبق عليه مسلم فهو احق به
“Barangsiapa lebih dahulu ke daerah perladangan yang belum didahului oleh seorang Muslim yang lain, maka dia lebih berhak memiliki perladangan itu.”
Hadits ini dishahihkan oleh Adl Dliya di dalam kitab Al-Mukhtarah. Diriwayatkan juga oleh Abu Daud.[31] 

VI.   Kehujjahan Hadits Hasan
Jumhur ulama mengatakan bahwa kehujjahan hadits hasan seperti hadits sahih, walaupun derajatnya tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadits hasan ini, hasan li dzatihi, maupun hasan li ghairihi ke dalam kelompok shahih, seperti Hakim, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memberikan penjelasan terlebih dahulu. [32]
Diriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim : “Saya bertanya kepada ayahku, tentang suatu hadits, Beliau menjawab : Isnadnya hasan. Kataku : bolehkah kita berhujjah dengan dia?. Beliau menjawab : Tidak“. Al-Bukhari tidak menerima hadits hasan dalam menetapkan halal dan haram. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnu Araby dalam ‘Aridlatul Ahwadzi. Contoh-contoh kitab yang banyak memuat hadits hasan adalah sunan empat (Sunan Abi Daud, Sunan Turmudzi, Sunan Nasa’i dan Sunan Ibnu Majah), Sunan Ad-Daraqutni, Kitab Al-Baihaqi dan lain-lain.[33]

VII.Kehujjahan Hadits Dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Syarah An-Nuhbah  menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh digunakan, dengan beberapa syarat :
a)    Level kedhaifannya tidak parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati shahih atau hasan. Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah (hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh digunakan untuk perkara fadhailul a’mal (keutamaan amal).
b)    Berada di bawah nash lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu, kalau mau dijadikan sebagai dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok, tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
c)    Ketika mengamalkannya, tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau perbuatan Beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW. Tetapi ada juga Ulama yang tidak sependapat  tentang pembolehan hadits dhaif digunakan sebagai dasar. [34]
Al-Bukhari, Muslim, segenap pengikut Daud ibn Ali Ad-Dhahiry dan Abu Bakar Ibnu Araby Al-Maliky menetapkan bahwa bila tidak boleh mempergunakan hadits dhaif, walaupun hanya untuk menerangkan keutamaan amal. Supaya orang tidak meni’tiqadkan suunah pekerjaan yang sebenarnya tiada disunnahkan, yang kemudian membawa kepada berdusta terhadap Rasul. Rasulallah Saw bersabda :
من حدث عني بحديث يرى انه كدب فهو احد الكدابين
“Barangsiapa menceritakan sesuatu dari padaku, padahal ia tahu, bahwa hadits itu bukan hadits-ku, maka orang itu salah satu seorang pendusta” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan Imam Nawawi didalam kitab Al-Adzkar mengatakan bahwa “Ulama hadits, fuqaha, dan lain-lain membolehkan kita mempergunakan hadits dhaif untuk fadhail, targhib, dan tarhib. Selama hadis itu belum sampai kederajat maudhu’.”[35]

VIII.  Kesimpulan
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa hadits menurut kualitas dari periwayat terbagi menjadi 3 yaitu
Ø Shahih  adalah hadits yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah Saw, atau sahabat atau tabi’in, bukan hadits yang syadz (kontroversi) dan terkena illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya. Yang dapat dijadikan hujjah dalam bersunnah.
Ø Hasan adalah khabar ahad yang dinukil oleh orang yang adil, kurang sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak  syadz. Istilah hadits hasan ini muncul, dimulai oleh Imam Turmudzi, karna banyak hadits yang peraiwayatnya kurang dhabith. Banyak ulama yang menjadikan hadits hasan ini, sebagai hujjah, namun tak sedikit pula ulama yang tidak memakai hadits hasan dalam hujjah tentang hal halal dan haramnya suatu perkara.
Ø Dhaif : yang tidak terkumpul sifat-sifat shahih dan sifat-sifat hasan. Hadits dhaif ini dapat dijadikan sebuah hujjah, namun kedudukannya hanya sebatas fadhailul ‘amal (Keutamaan amal). Bukan dijadikan untuk menetapkan hukum. Adapun syarat menggunakan hadits dhaif ialah : level kedhaifannya tidak parah, berada di bawah nash lain yang shahih, ketika mengamalkannya tidak boleh meyakini ke-tsabit-annya (bahwa hadits ini, termasuk yang sering dilakukan Rasulallah Saw).

IX.        Penutup  
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bersama, bahwa pembagian hadits menurut kualitas periwayat, ada yang dinamakan shahih, hasan, dhaif, yang masing-masig mempunyai fungsi dalam hujjah.
Demikianlah makalah ini yang kami susun sebagai tugas revisi akhir semester, kami sebagai pemakalah, menyadari bahwa makalah yang kami sampaikan  sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan kesalahan milik kami. Maka dari itu, perkenankanlah kami, meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca. Amien
Dan akhir kata, pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa sistematika penyusunan, maupun isi serta penyampaian makalah ini.









DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiedieqy Prof. Dr. T.M. Hasbi. 1987.Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama.Jakarta : Bulan Bintang.
Solahudin M. Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Suparta, Drs.Munzier. 1993. Ilmu Hadis. Jakarta : Raja Grafido Persada.
ash-Shalih, Dr.Subhi. 1993. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Anwar, Moh. 1981. Ilmu Musthalah hadits. Surabaya : Al-Ikhlas.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2009. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.



[1] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 109
[2] M.Solahudin, Agus Suyadi , Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,2009), hlm :  141
[3] M.Solahudin, Agus Suyadi , Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,2009), hlm :  142
[4] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993) hlm : 132
[5]M.Solahudin, Agus Suyadi , Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,2009),
 hlm : 142-144
[6] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),
hlm : 134-136
[7] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 161
[8] M.Solahudin, Agus Suyadi , Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,2009), hlm : 145
[9] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 161
[10]M.Solahudin, Agus Suyadi , Ulumul Hadis, (Bandung : Pustaka Setia,2009), hlm :  146
[11] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),hlm : 145
[12] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),hlm : 146
[13] Dr.Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1993),
hlm : 145
[14] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 166, 170
[15] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),
hlm : 145-147
[16]Moh. Anwar, Ilmu Musthalah hadits, ( Surabaya : Al-Ikhlas,  1981), hal 94
[17] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),
hlm : 153, 154
[18] Dr.Subhi ash-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Firdaus,1993),
hlm : 148
[19] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),
hlm : 155
[20] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 254-258
[21] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),
hlm : 158
[22] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 253
[23] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 264-265
[24] .Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),hlm : 160
[25] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 264
[26] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993)  ,hlm : 161-162
[27] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 280-282
[28] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),hlm : 170, 171
[29] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 268, 269, 272, 311-319.
[30] Drs.Munzier Suparta, MA, Ilmu Hadis, (Jakarta : Raja Grafido Persada,1993),hlm : 136
[31] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 139-150
[32] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009),    hlm: 63
[33] Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 169,177
[34] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2009), hlm: 64-65
[35]Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiedieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid Pertama, (Jakarta : Bulan Bintang,1987), hlm : 230

Tidak ada komentar:

Posting Komentar