Selasa, 26 Maret 2013

Siapakah 4 Istri?

SETIAP LELAKI MEMILIKI 4 ISTRI

Istri ke-1 : Tua dan jelek, biasanya tidak diperhatikan.
Istri ke-2 : Agak cakep, agak diperhatikan.
Istri ke-3 : Lumayan cakep dan cukup diperhatikan.
Istri ke-4 : Sangat cakep, sangat diperhatikan dan disanjung-sanjung serta diutamakan.

Waktu pun berlalu begitu cepat dan tibalah saat sang lelaki (suami) tersebut mau meninggal, lalu dipanggilah 4 orang istrinya.

Dipanggilah istri ke-4 yang paling cakep dan ditanya: “Maukah ikut menemaniku ke alam kubur?”

Si istri menjawab: “Sorry, cukup sampai di sini saja saya ikut denganmu.”

Saat istri ke-3 dipanggil dan ditanya hal yang sama, dia pun menjawab: “Sorry, saya hanya akan mengantarmu sampai di kamar mayat dan paling jauh sampai di rumah duka.”

Kemudian dipanggil istri ke-2 dan ditanya hal yang sama, maka dia pun menjawab: “Baik, saya akan menemanimu tapi hanya sampai ke liang kubur, setelah itu Good Bye.”

Si Suami sungguh kecewa mendengar semua itu, tetapi inilah kehidupan dan menjelang kematian. Lalu dipanggillah istri ke-1 dan ditanya hal yang sama, si suami tak menyangka akan jawabannya: “Saya akan menemani ke manapun kamu pergi dan akan selalu mendampingimu.”

Mau tahu apa dan siapa istri ke-1 sampai ke-4 itu?

Istri ke-4 adalah “harta dan kekayaan”. Mereka akan meninggalkan jasad kita seketika saat kita meninggal.

Istri ke-3 adalah “teman-teman” kita. Mereka hanya akan mengantar jasad kita hanya sampai di saat disemayamkan.

Istri ke-2 adalah “keluarga”; Saudara dan teman dekat kita. Mereka akan mengantar kita sampai dikuburkan dan akan meninggalkan kita setelah mayat kita dimasukkan dalam liang kubur dan ditutup dengan tanah.

Istri ke-1 adalah “tindakan dan perbuatan” kita selama hidup di dunia. Karena apa yang kita tabur untuk orang lain itu juga yang akan dituainya.

Berbuatlah banyak kebaikan selama kita masih hidup di dunia ini agar nantinya kita dapat memiliki bekal yang dapat dibawa apabila sudah waktunya nanti. Allahu al-Musta’an

Kamis, 21 Maret 2013

Makaalah Otonomi Daerah





AL-HAKIM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pendidikan Ke-Warganegara-an
Dosen Pengampu Ali Imron, M.Pd.I



Disusun Oleh :
1.   Muhammad Daris Fithon                123211055
2.   Imam Riza Kurnia                          123211039
3.   Satrio Dwi Putranto                        123211045
     

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012





    I.     PENDAHULUAN
Kebijakan memberikan wewenang terhadap daerah otonom, telah berlangsung sejak masa Khulafa’ur Rasyidin. Khalifah Umar bin Khattab telah mencetuskan pemerintahan untuk provinsi, yang dalam hal ini dipimpin Gubernur.
Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan kearifan lokal.
Urgensi otonomi daerah harus ada terhadap kemajuan sebuah negara. Termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dalam konteks wilayah NKRI terbentang luas, harus adanya perwakilan untuk mengatur, mengelola, mensejahterakan, dan menjaga kedaulatan NKRI. 

  II.     RUMUSAN MASALAH
A.  Arti Otonomi Daerah
B.  Arti Penting Otonomi Daerah - Desentralisasi
C.  Model Desentralisasi
D.  Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

III.     PEMBAHASAN
A.  Arti Otonomi Daerah
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.[1]
Menurut pendapat yang lain, bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. [2]
     Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakkan, dan pengawasan dalam pengelolaan pemerintahan daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan prima kepada publik.
Uraian diatas menunjukkan peranan administrasi negara dalam penyelengaraan otonomi daerah. Kebutuhan akan pentingnya administrasi negara terutama posisinya dalam penyelenggaraan otonomi daerah menjadi penting pada saat kita memasuki otonomi daerah yang dicanangkan pada tanggal 1 Januari 2001. Sehingga otonomi daerah semakin dituntut dalam pelayanan kepada masyarakat dan kesejahteraan umum. [3]

B.  Arti Penting Otonomi Daerah - Desentralisasi
Bapak proklamator Mohammad Hatta mengatakan, bahwa memberikan otonomi daerah tidak saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya auot aktiviet tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi, pemerintahan yang dilaksanakan oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri.[4] Ini mengandung arti penting, bahwa otonomi daerah sangat dibutuhkan dalam sebuah negara.
 Menurut undang-undang No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah dibentuk . Undang-Undang ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip : pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah bawahnya. Kedua, dekonsentrasi yang berarti pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan (medebiwind) yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah, yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif.
Tujuan desentralisasi sebagaimana dikemukakan oleh Eko Prasodjo dkk, terdiri dari tujuan yang bersifat politis terkait erat dengan perwujudan demokrasi lokal dan penguatan partisipasi masyarakat, dan tujuan yang bersifat administratif terkait erat dengan penciptaan efesiensi dan efektivitas dalam pemerintahan dan pembangunan.[5]
Perjalanan desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari proses bertumbuhnya negara, pertama, istilah desentralisasi telah muncul kepermukaan sebagai paradigma baru dalam kebijakan administrasi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an. Kedua, di Indonesia pada pra kemerdekaan, penjajah telah menerapkan desentralisasi yang bersifat sentralistis, birokritis, feodalistis untuk kepentingan mereka. Pada masa penjajah Belanda menyusun suatu hierarki Pangreh Praja Bumiputra, dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada Gubernur Jenderal. Dikeluarkannya Decentralisatie Wet 1903,yang ditindaklanjuti dengan Bestuurshervorming Wet 1922, menetapkan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri sekaligus membagi daerah-daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi gewest (identik provinsi), regentschap (kabupaten), dan staatsgemeente (kotamadya). Penjajah jepang pada dasarnya melanjutkan sistem penjajah Belanda. Ketiga, sejak pemerintahan Republik Indonesia, beberapa undang-undang tentang pemerintahan daerah telah ditetapkan dan silih berganti. Tahun 1959 berlaku de facto federalism, yaitu lemahnya kekuatan pusat atas daerah seiring dengan turunnya efektivitas kekuasaan pusat dan menjamurnya gerakan separatisme. Dekrit 5 Juli 1959 menandai sentralisasi sepenuhnya ditangan pusat hingga tahun 1966. [6]
Ada beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi. Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta-centris). Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan melimpah, seperti Sumatera, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu daerah dengan daerah lain sangat mencolok.[7]

C.    Model Desentralisasi
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu 1) Deconcentration, 2) delegation to semi-autonomous and parastatal agencies, 3) devolution to local governments, 4) nongovernments institutions (privatization). Dalam konteks Indonesia dikenal bentuk tugas pembantuan.
1.    Dekonsentrasi
Deconcentration atau dekonsentrasi, hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah, tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan untuk membuat keputusan.
Dekonsentrasi ini dapat ditempuh dengan dua cara : pertama, transfer kewajiban dan bantuan keuangan dari pemerintah pusat kepada propinsi, distrik dan unit administrasi lokal. Kedua, koordinasi unit-unit pada level sub-nasional atau melalui intensif dan pengaturan perjanjian (kontrak) di antara pemerintah pusat dan daerah serta unit-unit tersebut.  
2.    Delegasi
Delegation to semi-autonomous and parastatal agencies adalah perlimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
Di beberapa negara berkembang, bentuk delegasi ini dilaksanakan dengan memberikan tanggung jawab kepada korporasi publik, agen-agen pembangunan regional, pemegang otoritas fungsi-fungsi khusus, unit implementasi proyek yang bersifat semi otonomi dan beberapa organisasi lainnya.
3.    Devolusi
Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu, untuk dilaksanakan secara mandiri.
Salah satu contoh devolusi adalah di Sudan yang mana komisi provinsi dan DPRD provinsi mempunyai kewajiban hampir seluruh fungsi-fungsi publik kecuali keamanan nasional, pos komunikasi, urusan luar negeri, perbankan, dan peradilan.
4.    Privatisasi
Privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta.
Melalui privatisasi pemerintahan menyerahkan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi nirlaba atau mengizinkan mereka membentuk perusahaan swasta. Misalnya BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perusahaan Terbatas (PT). Dalam beberapa hal misalnya pemerintah mentransfer beberapa kegiatan kepada kamar Dagang dan Industri, Koperasi dan Asosiasi lainnya untuk untuk mengeluarkan izin-izin yang semula dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal kegiatan sosial, pemerintah memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan kesejahteraan keluarga, koperasi petani, dan koperasi nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial, termasuk melatih dan meningkatkan peran serta dan pemberdayaan masyarakat.
5.    Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga dari daerah yang tingkatannya lebih atas.
Kewenangan yang diberikan kepada daersh adalah kewenangan yang bersifat mengurus, sedangkan kewenangan mengatur tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat/pemerintah atasnya.[8]

D.  Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Dalam mengaktualisasikan kewenangan mengatur, khususnya dalam menyusun, menetapkan, dan mengesahkan peraturan daerah sejak diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan mulai ada pada daerah. Banyak kebijakan bisa diputuskan dengan cepat dan memungkinkan pelayanan berjalan dengan baik. [9]
Hal ini berarti tambahan kekuasaan dan tanggung jawab diserahkan kepada pemerintah daerah, serta membentuk sistem yang lebih terdesentralis dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi dan koadministratif di masa lalu (UU No.5/1974 dan UU No.5 1979).[10]
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dibentuk berdasarkan atas tuntutan masyarakat akan perlunya daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai dampak negatif dari proses sentralisasi yang terlalu lama di era orde baru. Oleh karena tuntutan begitu mendesak dan harus direspon dalam waktu yang singkat, pihak pemerintah dan DPR-RI menetapkan undang-undang tersebut. Namun sesuai proses yang mendesak, tentu banyak kelemahan. Berikut kelemahan yang dapat diamati adalah :
1.    Pembagian Daerah
Belum/tidak cukup jelas mengatur pembagian daerah. Apakah didasarkan pada luas wilayah, tingkat pendapatan/penghasilan daerah dan atau budaya masyarakat.
2.    Pembentukan  dan Susunan Daerah
Tidak rinci, hanya didasarkan atas prakarsa dan kehendak masyrakat. Kriteria susunan daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan lain-lain. Kriteria seperti ini, bisa saja menimbulkan ketidakpastian hukum tentang keberadaan suatu daerah.
3.    Kewenangan Daerah
Kondisi seperti ini akan tetap menempatkan pusat sebagai pihak yang lebih tinggi dari provinsi, kemudian provinsi sebagai pihak yang lebih tinggi dari kabupaten / kota. Sehingga harapan untuk menjadikan titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II (kabupaten/kota) tidak tercapai.
4.    Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Belum memberikan kewenangan yang sungguh kepada DPRD sebagai lembaga legislatif dengan tidak jelasnya kedudukan DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah daerah.
5.    Tentang Perangkat Daerah
Daerah mempunyai wewenang mengankat perangkat daerah, akan tetapi tidak ada kejelasan kewenangan daerah merekrut perangkat daerah di luar struktur pemerintahan sebelumnya (lama).
6.    Keuangan Daerah
Belum mencerminkan otonomi penuh daerah untuk menentukan jumlah anggaran dan pengaturannya. Masih mengikuti proses sentralisasi.
7.    Hubungan Pusat dan Daerah
Harus ada batasan yang jelas hubungan antara pusat, provinsi, kabupaten/kota. Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibentuk dan disusun daerah provinsi, kabupaten dan kota. Masing-masing untuk berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.[11]
Sejalan dengan reformasi, tiga tahun setelah implementasi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap  Undang-undang yang berakhir pada lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi Undang-undang tersebut (Bab IV Bagian Delapan mulai pasal 56-119).[12]

IV.     KESIMPULAN
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Berdasarkan penelitian dan pengamatan di lapangan, pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Oleh karena itu, disusunlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti undang-undang tersebut.
Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang tersebut dan diterapkannya prinsip-prinsip otonomi daerah, maka bersamaan dengan itu pula muncul kendala-kendala yang harus diatasi segera dalam tatanan pemerintah daerah.   

  V.     PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bersama, bahwa otonomi daerah mempunyai peran penting terhadap kelangsungan tata negara yang ada dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikianlah pembahasan makalah sekelumit tentang Otonomi Daerah, kami sebagai pemakalah, menyadari bahwa makalah yang kami sampaikan  sangat jauh dari kesempurnaan. Karena kesempurnaan hanya milik Allah, dan kesalahan milik kami. Maka dari itu, perkenankanlah kami, meminta kritik dan saran dari pembaca guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemakalah sendiri dan pada umumnya untuk pembaca. Amien
Dan akhir kata, pemakalah mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata, baik berupa sistematika penyusunan, maupun isi serta penyampaian makalah ini.






DAFTAR PUSTAKA

 Ubedilah, A.dkk. 2000. Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani.Jakarta. Indonesia Center for Civic Education.
Widjaja, Prof. Drs. HAW. 2002.Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta.PT Raja Grafindo Persada.
Widjaja, Prof. Drs. HAW. 2005.Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia. Jakarta.PT Raja Grafindo Persada.
Kuncoro, Mudrajad, Ph.D . 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarat.Erlangga



[1] A. Ubedilah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.170
[2] Prof. Drs. HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002),hlm. 76
[3] Prof. Drs. HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005),hlm. 7
[4] A. Ubedilah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000)
[5] A. Ubedilah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm. 181
[6] Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, (Jakarat : Erlangga, 2004), hlm.3
[7] A. Ubedilah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.171
[8] A. Ubedilah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.177-181
[9] Prof. Drs. HAW Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2005),hlm. 27
[10] Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang, (Jakarat : Erlangga, 2004), hlm.21
[11] Prof. Drs. HAW Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom,(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002),hlm. 102-104
[12] A. Ubedilah,dkk, Demokrasi,HAM,dan Masyarakat Madani, (Jakarta : Indonesia Center for Civic Education, 2000), hlm.188