Jutaan kata tlah aku selesai membacanya, bahkan tak jarang pula ada
kosa kata yang menyangkut. Jutaan kata telah tertanam rapi, tersusun secara
sistemik. Jutaan kata membentuk semangat baru, menata kehidupan kelak.
Berbagai literatur tlah aku selesaikan baca tuk menyemangati diri
sendiri, hidup pada masa sekarang dan merencanakan masa depan. Paling tidak,
menghibur diri sendiri atau lebih parahnya lagi adalah membenarkan niatan saya.
Manuskrip-manuskrip yang mencantumkan ungkapan mutiara dari para ilmuwan,
cendikiawan, ulama, pastur, romo, uskup, bhiksu, pandhita, ustadz, kyai, habib,
pemimpin rakyat, dan tokoh masyarakat. Bahkan tak jarang pula, kata-kata itu
telah di implementasikan dalam kehidupan saudara-saudara kita pejuang sesuap
nasi.
tanpa disadari, mutiaara tersebut telah membius pikiran saya.
Seketika it, saya langsung diam membius, memperhatikan dengan serius (Inshot).
Seketika pun, saya mengamininya dan tak ada memori saya “yang” mencoba tuk menolak
kata-kata itu. Seketika pun, saya langsung punya semangat baru, mindset baru,
semacam pencerahan dari Gusti dengan perantara manuskrip, literatur,mutiara
kata bijak dari tokoh penyemangat hidup (red.motivator).
yah, mutiara bijak itu ialah semangat menata hidup, Rekontruksi
kehidupan. Setelah menelaah kata-kata itupun saya tersugesti tuk kembali
memulai hidup dengan penuh semangat menyonsong kehidupan kelak, kesuksesan masa
depan.
Namun setelah penelaahan, merenung
dan siap tuk mengimplementasikan dalam kehidupan. Apa daya? sifat malas, bosan,
jenuh dan lain sebagainya menghampiri. Dan ketika sudah menjelma dalam alam
bawah sadar saya, saya pun mencoba membenarkan sifat malas(aras-arasan).
Mulailah saya menyusun lagi, mencari
kekuatan semangat lagi dengan mambaca, menelaah, mendengarkan atau menyaksikan
dari para motivator. Dan akhirnya pun, sesering saya mengkaji ujung-ujungnya
pun bermuara pada sifat aras-arasan (lagi). Saya mencari pembenaran dari yang
saya rasakan, ’’yah, biarkan sajalah nikmati sifat malas ini, biarkan saya
bermaksiat dulu nanti juga pasti Tuhan akan menunjukkan saya ke jalan Nya,
memberikan hidayah dan taufiq Nya pada saya, dan saya pasti bisa sukses”
Seketika hati, pikiran, dan jiwa
saya pun merasa nyaman setelah pembenaran hal itu. tapi seketika, saya bertanya
pada diri sendiri. Siapakah anda? Siapakah yang akan menjamin bahwa sampian
akan mendapatkan hidayah? Siapakah yang menjamin bahwa sampian akan mendapatkan
ilmu yang luas? Mendapatkan wawasan yang dalam? Adakah yang menjamin, bahwa
anda akan sukses dunia dengan harta yang melimpah? Siapakah anda? Anda
keturunan kyai kah? Keturunan habib kah? dan adakah yang menjamin bahwa anda
akan masuk surga? Atau pula ada yang menjamin anda tak akan di tanyai oleh
malaikat dua di alam barzah kelak?
Fundamental mental kita ialah
bercita cita yang tak realistis, hidup dengan mimpi. Teringat dengan Jamaluddin
ar-Rumi yang mengatakan “kita terlahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam
keadaan mimpi dan kita mati sebelum kita terbangun”. Mungkinkah nanti saya akan
merasakan hal yang Jamaluddin ungkapkan, mati sebelum terbangun? Dan saat itu
pula, hidayah Tuhan belum nyasar ke dalam kehidupan saya. Saya masih terjerumus
dalam sifat kejelekan, terjerumus dalam lubang jalanan digilas kaki sang waktu yang sombong, dan mimpi-mimpi
mendapatkan hidayah akan terkubur bersama tumpukan tanah. Tuhan pun lebih
memilih bertemu saya lebih cepat dari perkiraan saya. Mungkin Tuhan rindu
dengan saya, Tuhan tak memberikan hidayah pada saya dan memilih saya tuk bertemu
dengan Nya dengan keadaan bahwa saya belum sempat terbangun. Budayawan Cak Nun
pun mengingatkan “Menggeliatlah dari matimu”. Lantas adakah naluri tuk
menghapus niatan pembenaran rasa jelek itu? Bismillahirrahmanirrahim La
haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim, tak ada kekuatan selain
kekuatan Mu ya Gusti. Ihdinassiratal mustaqim,.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar