Sabtu, 22 November 2014

Celoteh yang (tak) ada referensi

Jutaan kata tlah aku selesai membacanya, bahkan tak jarang pula ada kosa kata yang menyangkut. Jutaan kata telah tertanam rapi, tersusun secara sistemik. Jutaan kata membentuk semangat baru, menata kehidupan kelak.
Berbagai literatur tlah aku selesaikan baca tuk menyemangati diri sendiri, hidup pada masa sekarang dan merencanakan masa depan. Paling tidak, menghibur diri sendiri atau lebih parahnya lagi adalah membenarkan niatan saya. Manuskrip-manuskrip yang mencantumkan ungkapan mutiara dari para ilmuwan, cendikiawan, ulama, pastur, romo, uskup, bhiksu, pandhita, ustadz, kyai, habib, pemimpin rakyat, dan tokoh masyarakat. Bahkan tak jarang pula, kata-kata itu telah di implementasikan dalam kehidupan saudara-saudara kita pejuang sesuap nasi.
tanpa disadari, mutiaara tersebut telah membius pikiran saya. Seketika it, saya langsung diam membius, memperhatikan dengan serius (Inshot). Seketika pun, saya mengamininya dan tak ada memori saya “yang” mencoba tuk menolak kata-kata itu. Seketika pun, saya langsung punya semangat baru, mindset baru, semacam pencerahan dari Gusti dengan perantara manuskrip, literatur,mutiara kata bijak dari tokoh penyemangat hidup (red.motivator).
yah, mutiara bijak itu ialah semangat menata hidup, Rekontruksi kehidupan. Setelah menelaah kata-kata itupun saya tersugesti tuk kembali memulai hidup dengan penuh semangat menyonsong kehidupan kelak, kesuksesan masa depan.
Namun setelah penelaahan, merenung dan siap tuk mengimplementasikan dalam kehidupan. Apa daya? sifat malas, bosan, jenuh dan lain sebagainya menghampiri. Dan ketika sudah menjelma dalam alam bawah sadar saya, saya pun mencoba membenarkan sifat malas(aras-arasan).
Mulailah saya menyusun lagi, mencari kekuatan semangat lagi dengan mambaca, menelaah, mendengarkan atau menyaksikan dari para motivator. Dan akhirnya pun, sesering saya mengkaji ujung-ujungnya pun bermuara pada sifat aras-arasan (lagi). Saya mencari pembenaran dari yang saya rasakan, ’’yah, biarkan sajalah nikmati sifat malas ini, biarkan saya bermaksiat dulu nanti juga pasti Tuhan akan menunjukkan saya ke jalan Nya, memberikan hidayah dan taufiq Nya pada saya, dan saya pasti bisa sukses”
Seketika hati, pikiran, dan jiwa saya pun merasa nyaman setelah pembenaran hal itu. tapi seketika, saya bertanya pada diri sendiri. Siapakah anda? Siapakah yang akan menjamin bahwa sampian akan mendapatkan hidayah? Siapakah yang menjamin bahwa sampian akan mendapatkan ilmu yang luas? Mendapatkan wawasan yang dalam? Adakah yang menjamin, bahwa anda akan sukses dunia dengan harta yang melimpah? Siapakah anda? Anda keturunan kyai kah? Keturunan habib kah? dan adakah yang menjamin bahwa anda akan masuk surga? Atau pula ada yang menjamin anda tak akan di tanyai oleh malaikat dua di alam barzah kelak?
Fundamental mental kita ialah bercita cita yang tak realistis, hidup dengan mimpi. Teringat dengan Jamaluddin ar-Rumi yang mengatakan “kita terlahir dalam keadaan tidur, kita hidup dalam keadaan mimpi dan kita mati sebelum kita terbangun”. Mungkinkah nanti saya akan merasakan hal yang Jamaluddin ungkapkan, mati sebelum terbangun? Dan saat itu pula, hidayah Tuhan belum nyasar ke dalam kehidupan saya. Saya masih terjerumus dalam sifat kejelekan, terjerumus dalam lubang jalanan digilas kaki sang waktu yang sombong, dan mimpi-mimpi mendapatkan hidayah akan terkubur bersama tumpukan tanah. Tuhan pun lebih memilih bertemu saya lebih cepat dari perkiraan saya. Mungkin Tuhan rindu dengan saya, Tuhan tak memberikan hidayah pada saya dan memilih saya tuk bertemu dengan Nya dengan keadaan bahwa saya belum sempat terbangun. Budayawan Cak Nun pun mengingatkan “Menggeliatlah dari matimu”. Lantas adakah naluri tuk menghapus niatan pembenaran rasa jelek itu? Bismillahirrahmanirrahim La haula wa la quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adhim, tak ada kekuatan selain kekuatan Mu ya Gusti. Ihdinassiratal mustaqim,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar