Senin, 08 Desember 2014

Menjadi pemimpin dan pelaku

Seandainya ilmu yang dimiliki oleh Ki Ageng Djayadigdo berupa aji-aji pancasona bisa diperoleh, yang konon katanya beliau hidup kembali ketika tanah menyentuh beliau akan tapi bukan rekarnasi namanya. Seandainya pula, waktu itu Pangeran Diponegoro bukan orang sakti, mungkin peperangan di Jawa Tengah tak akan berlangsung selama 5 tahun, 1825-1830. Andai kata, sewaktu perang Bharatayuda antara Pandhawa yang dipimpin oleh Yudhistira dengan empat saudara beserta pasukannya bukan orang-orang yang sakti mandraguna untuk melawan Kurawa yang dibawah komando Duryudana beserta seratus saudaranya yang dibantu oleh pamannya Sengkuni tak tertinggal pula pasukannya untuk memperebutkan kekuasaan di Hastinapura, tak bisa dibayangkan betapa hancurnya Pandhawa dan mungkin Yudhistira bersama saudaranya tak akan pernah pergi ke gunung Himalaya untuk karsyan patapan (mujahadah) kepada Sang Hyang Widi sebelum menemui ajalnya dan berakhir hidup kekal di surga Tuhan.
Kita tak bisa membayangkan, jikalau para walisongo menyebarkan Islam di Nusantara khususnya di Jawa dengan model dakwah para pejuang pembela Islam dengan mengharamkan berbagai tradisi Nusantara yang telah ada, mungkin eksistensi Islam jawa atau Islam Nusantara tak akan menjadi ummat Islam terbesar sedunia, atau bahkan Islam tak akan pernah eksis di Ibu Pertiwi. Islam hanyalah tamu yang datang, para walisongo menyadari hal itu beliau memakai dakwah dengan karakteristik mayarakat setempat. Tak bisa disamakan antara dakwah putih yang digagas oleh sunan Ampel dengan dakwah abang(red. Merah) yang digagas oleh sunan Kalijogo. Walisongo sendiri terbagi menjadi dua model dakwah, bukan berarti sunan Kaijogo tak paham esensi Islam, bukan pula Sunan Ampel tak mendukung dakwah sunan Kalijogo. Akan tetapi, kondisi masyarakat di Ampel Denta Suroboyo berbeda dengan di Kadilangu Demak. Kebudayaan yang lahir atas kesepahaman dan kesepakatan oleh masyarakat menjadikan wayang sebagai budaya dan tradisi di Kadilangu. Darah sapi tak boleh mengalir di Kudus, itulah larangan sunan Kudus sebagai tanda toleran terhadap ummat Hindu yang telah lama menghuni di Kudus. Sapi sebagai hewan suci untuk agama Hindu, tak heran jika sang sunan melarang untuk menyembelihnya. Sunan Bonang dengan alat musiknya telah meluluhkan hati orang-orang Tuban. Mereka para sunan mampu mensinkretisme(mengawinkan aliran dengan budaya lokal), sehingga Islam mampu dterima dengan tangan terbuka serta lapang hatinya. Namun berbeda dengan kondisi di Ampel Denta Suroboyo, yang mayoritas penduduknya adalah para begal, peminum minuman keras, berjudi, pelaku seks komersial, oleh sebab itu sang sunan berdakwah amar makruf nahi mungkar. Begitu juga yang dilakukan oleh sunan Drajad (putra sunan Ampel) dengan cara dakwahnya membangun perekonomian rakyat.
Rakyat Indonesia yang telah sabar untuk berperang tanpa menyerah kepada penjajah, merupakan anugerah terbesar Tuhan. Kalaupun sewaktu  itu, rakyat lebih memilih menjadi negara yang merdeka akan tetapi menjadi bagian dari penjajah layaknya negara Malaysia negara merdeka bagian Inggris, mungkin tak akan pernah terdengar lagu syukur, lagu padamu negri, lagu Indonesia Raya yang selalu kita nyanyikan, atau kita tak akan pernah merasakan indahnya mengatakan “merdeka” dengan suara lantangnya Bung Karno sang orator ulung penggebrak semangat rakyat, arek-arek Suroboyo tak pernah akan  turun mempertahankan kemerdekaan Indonesia jikalau Bung Tomo tak pernah mengatakan “Merdeka” kepada rakyat Suroboyo, atau juga tak akan pernah ada monumen 3 Oktober 1945 di Pekalongan sebagai tanda kegigihan mengusir penjajah yang masih bercongkol di Pekalongan dengan satu kata “merdeka”. Semua itu tak akan terasa jikalau rakyat merasa lelah, hanya pasrah terhadap penjajah.
Perjuangan rakyat Indonesia bukanlah masa yang singkat namun berabad-abad pula kita hidup dengan egoisme, kita bukan melawan penjajah asing tapi justru kita melawan sesama saudara bangsa. Kita mudah di adu domba, Belanda dengan sengaja melakukan politik devide et impera (politik adu domba). Antar keluarga, antar ras, antar suku, antar daerah saling bertikai satu sama lainnya. namun perjuangan Indonesia baru dimulai dengan terbentuknya organisasi Budi Utomo, 20 Mei 1908. Organisasi inilah yang menjadi tonggak persatuan, untuk kepentingan Bangsanya, melawan penjajah bukan melawan saudara setanah airnya. Sebagai puncak, lahirlah sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 sebagai embrio bahwa rakyat Pribumi sudah insyaf untuk melawan penjajah Belanda. Tidak berhenti disitu, sumpah yang di deklarasikan itu, bukanlah sumpah yang tak ada implementasinya sebagaimana sumpah para dewan wakil rakyat yang gemar bersumpah dikampanye, bersumpah jabatan di saksikan kitab suci agama masing-masing dewan namun tak insyaf jiwa-jiwa mereka bak kerdus yang kosong terkena air pula dan tak berguna pula. Sumpah pemuda  menjadi semangat untuk mewujudkan Indonesia yang merdeka, sebagai puncaknya lahirlah Indonesia sebagai negara penggalan surga yang seakan-akan surga pernah bocor mencipratkan keindahan, kesejahterkan dan kekayaan untuk dikelola, ditanam, dan dimanfaatkan untuk kesejahteran rakyat Bumi pertiwi--yang berabad-abad hidup dalam kemiskinan, kelaparan, kepriatinan dibawah kapitalisme penjajah-- dengan kemerdekaan Indonesia berdikari dalam segala lini kehidupan bernegara , 17 Agustus 1945.
Semua peristiwa yang terjadi bisa menjadi barometer untuk kehidupan kita, sebuah karya harus ada penolakan. Sebuah kesuksesan harus ada manifestasi kegagalan dan kesabaran. Sebuah cita-cita harus ada pengorbanan. Singakat kata, Anies Basweden mengatakan “perjuangan adalah pelaksanan dari kata-kata”.
Namun peristiwa yang terjadi adalah buah dari kesabaran dalam menempuh hidup. Jikalau Ki Ageng Djayadiga, Pangeran Diponegoro, Walisongo, para Pejuang Kemerdekan dan orang-orang yang mempunyai keistimewaan, bukan termasuk orang-orang yang dihatinya terdapat kesabaran, mungkin mereka tak pernah ada dalam manuskrip sejarah Indonesia.
Sabar merupakan sebuah tantangan tersendiri, sabar adalah ujian terberat Tuhan yang sengaja diberikan kepada manusia. makanya jauh-jauh hari Allah memperingatkan kita dalam hadits Qudsi-Nya, :
 مَنْ لَـمْ يَرْضَ بِقَضَائِي وَلَـم يَصْبرْ عَلَى بَلَائِي وَلـَم يَشكُرْ على نِعَمَائِــي فَـلْـيَتَخِذْ رَبًا سِوَائِي
“Barangsiapa yang tak ridla dengan kepastian-Ku, barangsiapa yang tak sabar akan ujian-Ku, barangsiapa siapa yang tak syukur akan nikmat-nikmat-Ku maka carilah Tuhan selain Aku (Allah SWT).”
Semua akan indah pada masanya, kita akan menikmati apa yang menjadi perjuangan kita. Kalaupun sewaktu itu, bapak manusia dunia nabi Adam menolak memakan buah khuldi dari pemberian iblis yang menyamar Hawa, mungkin kita tak akan pernah merasakan perjuangan, tak pernah ada pertikaian, tak kan pernah meraskan kerasnya hidup, tak pernah kita merasakan manis pahitnya jatuh cinta, kita juga tak akan pernah memperoleh ilmu Tuhan yang bak samudera tak ada ujungnya.
Kita hanya duduk manis menikmati surga, semua permintaan, jamuan, bidadari dan apapun juga keinginan kita ada dalam pandangan kita. Namun kita tak akan pernah merasakan keras dan kejamnya hidup, cinta dan ilmu.
Andai kata, saat itu Rasulullah meminta agar ummat ini dibinasakan sebagaimana permintaan nabi Nuh, nabi Luth dan juga nabi-nabi lainnya terhadap ummatnya, mungkin kita tak akan pernah ada dalam dunia ini. Inilah bukti kecintaan Nabi Adam dan Rasulullah saw, agar ummat-nya merasakan pahit manisnya kehidupan berbalut kesabaran, ketekunan, keuletan untuk menyongsong kehidupan lebih baik. Sudah selayaknya, suatu saat nanti kita akan menikmati jerih payah kita, menikmati mandi keringat kita dengan kesuksesan. Sebuah syair arab mengatakan, :
اعْلَمْ فَــــــــــــــــــــــــعِلْمُ المرْءِ يَنفَعُـــــــــــــــــــــــهُ – اِنْ سَـــــــــــــــــــــوفَ يَأْتِي كُلُ مَا قُــــــــــــــــــــــــــدِرا
Yakinilah, ilmu seseorang itu akan bermanfaat. Sesungguhnya pula, suatu waktu akan datang kesuksesan yang selama ini dicita-citakan.
Seorang ilmuwan pernah berkata, tak pernah ada orang sukses yang mati tenggelam di lautan keringat. Dan suatu waktu pula, kita akan menjadi pemimpin penentu kemajuan bangsa dan negara, mampukah kita menjawab tantangan zaman dengan dedikasi yang akan kita sumbangkan untuk bangsa dan negara serta agama.
Hari ini, kita adalah pemimpi dan pejuang, namun suatu saat nanti, kita sama-sama menjadi pelaku dan pemimpin menggantikan generasi sebelum kita untuk kearah yang lebih baik. Bung Karno pun pernah berkata "pemimpin itu lahi dari jalan yang tak terduga". Dan waktulah yang akan menjawab dan membuktikannya, imam Ibnu Malik jauh-jauh hari telah memberi isyarat dalam kitab Alfiyah nya mengatakan :
يَــنُوبُ مَفْعُــــــــــــــــولٌ بِهِ عَنْ فَاعِـــــــــــــــــــــــلِ – فِيمَا لَهُ كَنِيْـــــــــــــلَ خَيرُ نَائِـــــــــــــــــــــــــلِ
Sebuah generasi muda (obejek kebijakan) akan menggantikan generasi sebelumnya, menjadi seorang pemimpin pembuat kebijakan. Dan itulah anugerah yang terbaik dari Sang Pemberi Anugerah.

Ini bukanlah tulisan motivasi, namun ini hanyalah buangan pikiran saya. Ini hanyalah sebuah do’a lewat sebuah tulisan yang tak bekertas, tak bertinta pula. Semoga ada manfaat dan barakah untuk kita semua, semoga pula kita digolongkan Allah dalam golongan orang-orang yang sabar hati, jernih dalam berpikir, cerdas dalam bertindak, dan arif serta bijak dalam berprilaku. Semoga Tuhan menolong kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar